Nasional

Mbah Sahal, Sosok Terbuka dan Egaliter

Sab, 8 Maret 2014 | 09:01 WIB

Jakarta, NU Online
Almaghfurlah KH MA Sahal Mahfudh merupakan sosok dua dimensi. Satu dimensi dengan yang lain saling menguatkan, bukan saling bertolak belakang. Mbah Sahal, sapaan akrabnya, dinilai sebagai sosok yang terbuka dan egaliter.
<>
Testimoni ini diutarakan Dr Saiful Umam di hadapan para anggota komunitas Gusdurian yang menghelat tahlil 40 hari wafatnya Sang Rais Aam di aula lantai 8 gedung PBNU Jalan Kramat Raya No 164 Jakarta Pusat, Jumat (7/3) malam.

Bersama KH Husein Muhammad, magister lulusan Princeton University (1996) Amerika Serikat yang juga dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta ini didaulat sebagai narasumber dalam diskusi “Fiqih Sosial Kiai Sahal”. Diskusi bulanan ini diinisiasi Sekretariat Nasional (Seknas) Gusdurian.

“Saya merasa sangat beruntung ketika kelas tiga aliyah di Madrasah Mathole’ Kajen yang masyhur dikenal sebagai PIM (Perguruan Islam Matholi’ul Falah, red) saya sempat diajar langsung oleh Mbah Sahal dengan mata pelajaran Tarikh Tasyri’. Di kelas, beliau sangat low profile. Namun, ketika di ndalem, beliau sangat menjaga hubungan antara guru-murid,” ujarnya mengawali presentasi.

Pria kelahiran Kajen yang berhasil menyabet gelar Doktor Filsafat (Philosophy Doctor/PhD) di University of Hawaii (2011) AS ini menambahkan, Kiai Sahal sangat terbuka dalam pemikiran di bidang Fiqih Sosial. Ketika para kiai pada saat itu banyak yang menentang praktik perbankan, ia malah mendirikan BPR (Bank Perkreditan Rakyat) konvensional. Bukan bank syariah.

“Ketika ditanya alasan bikin bank konvensional, beliau menjawab masyarakat belum siap dengan BPR Syariah,” kata Umam menirukan Kiai Sahal.  

Senada dengan doktor Umam, Prof Abdurrahman Mas’ud PhD di kantornya di bilangan Thamrin juga memberikan testimoni seputar pengalamannya dengan Kiai Sahal. Bagi doktor lulusan University of California Los Angeles (UCLA) ini, kiai yang sangat dikaguminya itu merupakan sosok kiai yang egaliter.

“Beliau cepat sekali akrab dengan siapa saja. Saya masih ingat betul ketika sowan menjelang ngaji pasanan di Kajen pada Ramadhan tahun 1978 dan 1979, menyodorkan kitab Tsamrotul Hajainiyah kepada Mbah Sahal. Saking percayanya, beliau langsung memberikan ijazah kepada saya. Artinya, saya dianggap telah mengaji kitab itu kepada beliau. Padahal belum,” ujar Prof Rahman. (Musthofa Asrori/Mahbib)