Nasional

Masjid Sultan Riau, Tertua di 'Negeri Segantang Lada'

NU Online  ·  Rabu, 31 Juli 2019 | 12:25 WIB

Masjid Sultan Riau, Tertua di 'Negeri Segantang Lada'

Masjid Raya Sultan Riau di Pulau Penyengat

Tanjungpinang, NU Online 
Salah satu kebanggan masyarakat Muslim di Provinsi Kepulauan Riau adalah masjid tertua peninggalan Kesultanan Riau. Masjid itu bernama Masjid Raya Sultan Riau yang dibangun Yang Dipertuan Muda Sultan Abdurrahman pada tahun 1761 dan selesai tahun 1812.

Luas keseluruhan kompleks masjid ini sekitar 54,4 x 32,2 meter. Bangunan induknya berukuran 29,3 x 19,5 meter, dan ditopang oleh empat tiang. Arsitekturnya merupakan perpaduan antara Melayu, Arab, India, dan Turki. Dinding masjid bagian luar didominasi warna kuning sebagai lambang kebesaran Melayu. Dinding bagian dalam masjid berwarna putih sebagai lambang kesucian. Di bagian tertentu ada warna-warna hijau sebagai lambang dari Islam.  

“Kalau ke Kepri, orang menyebutnya negeri segantang lada, tidak lengkap kalau tidak ke Penyengat. Kalau ke Penyengat, tidak lengkap kalau tidak menemui pemiliknya karena pulau penyengat ini adalah hadiah dari sultan untuk permaisurinya,” kata Ketua DKM Masjid Raya Sultan Riau Raja Abdurrahman RDJ kepada NU Online di beranda masjid tersebut, Selasa (29/7). 

Salah satu buyut dari pujangga besar Melayu, Raja Ali Haji tersebut mengisahkan, masjid tersebut pada masa Kesultanan Riau adalah pusat intelektual Melayu. 

Buktinya, kata dia, di masjid tersebut terdapat 1200 kitab klasik, di antaranya Al-Umm karya Imam Syaf’’i. 

Menurut dia, masjid tersebut menunjukkan sultan-sultan Riau berpaham Ahlussunah wal Jamaah karena dari seluruh kitab warisan masa lalu tersebut berisi tentang ajaran Ahlussunah wal Jamaah. 

“Masjid ini memiliki beduk, ada wiridan selepas shalat, ada qunut subuh, dan tarawihnya 23 rakaat, ada baca Barzanji” katanya.

Kebiasaan tersebut, lanjutnya, merupakan kebiasaan dari sultan-sultan Riau zaman dahulu. Tentu saja, masyarakat pulau Penyengat akan  menjaga warisan leluhurnya. 

“Kami akan terus menjaga kebiasaan leluhur kami,” katanya lagi. (Abdullah Alawi)