Nasional RISET BLA JAKARTA

Manuskrip Alas Naskah dan Awal Masuknya Islam di Lampung Barat 

Sab, 14 Desember 2019 | 07:30 WIB

Manuskrip Alas Naskah dan Awal Masuknya Islam di Lampung Barat 

Zulkarnain sedang mengamati manuskrip kuno di Kabupaten Lampung Timur. (Foto: Dok. Zulkarnain/BLAJ)

Naskah tulisan tangan atau manuskrip merupakan teks tertulis yang mengandung berbagai pemikiran, pengetahuan, adat istiadat serta perilaku masyarakat masa lalu. Dibanding bentuk-bentuk peninggalan budaya material non-tulisan di Indonesia, seperti candi, istana, masjid dan lain-lain, jumlah peninggalan budaya dalam bentuk naskah jauh lebih besar. 

Peneliti Balai Litbang Agama (BLA) Jakarta Balitbang Diklat Kemenag RI, Zulkarnain Yani, dalam penelitiannya di Kabupaten Lampung Barat dan Lampung Timur Provinsi Lampung telah mengungkap temuan-temuan penting terkait manuskrip.  

Penelitian yang ia lakukan pada Februari sampai Maret 2019 itu hendak menginventarisasi dan mendata naskah-naskah Lampung yang masih tersimpan baik oleh perorangan maupun oleh kesultanan dengan menggambarkan karakteristik naskah dari aspek kodikologi (aspek keilmuan manuskrip).

“Salah satu keturunan Paksi (kerajaan) Skala Brak yang berhasil menjaga manuskrip alas naskah adalah Suttan Penyimbang Darwis bin Muhammad Yusuf. Manuskrip alas naskah tersebut menjadi salah satu bukti sejarah masuknya Islam ke wilayah Lampung tahun 1500-1800 masehi. Itu dibuktikan dari 16 manuskrip yang dijaga Darwis di antaranya ada yang memuat naskah Al-Qur’an,” tulis Zulkarnain. 

Selain manuskrip alas naskah, ada 15 naskah atau manuskrip yang ditemukan dan dijaga Darwis bin Muhammad. Darwis yang juga keturunan Buay Benyata, adalah orang kepercayaan Paksi atau kerajaan Skala Brak untuk menyimpan benda-benda pusaka. Darwis sendiri generasi ke-18 Buay Benyata dan keturunan pertama dari Moeka Mahilom pada garis Umpu Benyata.  

Dalam laporan hasil penelitian yang disusunnya, Zulkarnain banyak mengungkap sejarah masuknya Islam ke wilayah Lampung, terutama Lampung Barat melalui 16 manuskrip Darwis. 

Pintu Masuk Perkembangan Islam 
Lampung Barat, tulis Zulkarnain, merupakan pintu masuk dan berkembangnya Islam pada abad ke-16 dari arah utara. Islam berkembang melalui Belalau, seseorang yang dibawa oleh empat orang bangsawan Pagaruyung, Sumatera Barat yaitu Inder Gajah, Belunguh, Sikin, dan Pak Lang. 

Empat orang bangsawan itu menyandang gelar Umpu (penghormatan) dari masyarakat Lampung. Penghormatan itu antara lain Bejalan Diway, Umpu Belunguh, Umpu Nyekhupa, dan Umpu Pernong. Empat orang itulah sebagai cikal bakal lahirnya Paksi Pak Sekala Bekhak yang ada di wilayah Lampung Barat. 

“Mereka memiliki wilayah, rakyat, dan adat-istiadat masing-masing serta kedudukan yang sama. Hal ini dapat diketahui dari beberapa peninggalan yang masih ada dan masih tersimpan dengan rapi oleh keturunan ke empat umpu tersebut, baik dalam bentuk peninggalan fisik berupa bangunan dan benda-benda bersejarah lainnya,” tulis Zulkarnain.

Sementara itu, agama Islam menyebar di Lampung Barat dibawa oleh para ulama Pagaruyung (Sumatera Barat). Pengaruh Islam di Lampung yang berasal dari Aceh itu dapat dibuktikan dari  batu nisan Sultan Malik ash-Shaleh di Pasai di Kampung Muara Batang, Kecamatan Palas, Lampung Selatan pada tahun 1971. 

Fakta lain, Islam masuk ke wilayah Lampung melalui Banten yang dibawa oleh mubaligh Banten serta pemgaruh pernikahan Fatahillah (Banten) dan Putri Sinar Alam dari Keratuan Pugung putri Raja Minak Raja Jalan. 

“Alas naskah atau bahan naskah ialah sesuatu yang dipakai untuk menulis sehingga terbentuk sebuah naskah,” ujar Zulkarnain melalui laporan hasil penelitian yang diterima NU Online, Rabu (4/12). 

Berdasarkan pengamatannya, naskah-naskah Lampung sebagian besar menggunakan media kulit kayu atau dalam bahasa Lampung disebut book.  Kulit kayu tersebut terbuat dari kayu Gaharu atau Halim, kayu khas Lampung yang biasa digunakan untuk menulis teks. 

“Adapun alas naskah atau bahan naskah yang ada di koleksi Among Dalom Darwis ini sangat beragam, berupa tanduk kerbau sebanyak 2 MSS, kertas Eropa sebanyak 10 MSS, kertas bergaris sebanyak 3 MSS dan lempengan logam sebanyak 1 MS,” lanjut Zulkarnain melengkapi temuannya. 

Namun, yang paling banyak dimiliki Among Dalom Darwis adalah kertas Eropa. Bahkan, alas naskah berupa kulit kayu yang merupakan ciri khas sebagai naskah Lampung tidak dijumpai dalam koleksi Among Dalom Darwis. 

Tentu ini menjadi pertanyaan dan pembahasan tersendiri, mengapa kulit kayu tidak menjadi sarana atau media dalam tradisi tulis menulis di Buay Benyata. Apakah keberadaan Buay Benyata ada setelah tradisi tulis-menulis dengan menggunakan media seperti tulang, kulit kayu, tanduk kerbau, logam, dan lain sebagainya telah dilakukan oleh masyarakat sebelum adanya media alas kertas.

Keberadan kertas Eropa yang menjadi alas naskah di Kebuayan Benyata menunjukkan simbol bahwa pada masanya, Buay Benyata salah satu Kebuayan yang memiliki ekonomi memadai. 

Hal ini karena hanya orang atau golongan tertentu saja yang dapat menulis dengan menggunakan kertas Eropa, selain harganya yang sangat mahal juga karena golongan bangsawan sajalah yang dapat mengakses dan memperoleh kertas Eropa tersebut. 

Selain itu, dalam temuan ini menunjukkan masyarakat pada masa kebuayan Benyata sudah bersentuhan dengan dunia Eropa. Temuan ini juga sesuai dengan yang dijelaskan Pudjiastuti yang menyebut naskah kuno Lampung menggunakan kertas Eropa. Menurutnya, kertas Eropa yang terdapat di koleksi Among Dalom Darwis terdiri atas 10 naskah salah satu adalah naskah Al-Qur’an.

Penulis: Abdul Rahman Ahdori
Editor: Musthofa Asrori