Nasional

Manakib Kejenakaan Mahbub Djunaidi

Sab, 8 Oktober 2016 | 01:30 WIB

Manakib Kejenakaan Mahbub Djunaidi

Menag saat menyampaikan testimoninya tentang Mahbub Djunaidi.

Jakarta, NU Online
Omah Aksoro, komunitas penggiat literasi bersama PMII dan BEM Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta menggelar Manakib Mahbub Djunaidi, Jumat (7/10) malam di kampus Jalan Taman Amir Hamzah Jakarta Pusat. Kegiatan ini juga sekaligus memperingati Harlah ke-21 Mahbub Djunaidi dengan memutar film dokumenter tentang Mahbub persembahan Omah Aksoro.

Beberapa tokoh penting hadir dalam kegiatan yang awalnya digagas dan lahir dari Tadarus buku-buku karya sang pendekar pena, Mahbub Djunaidi ini. Mereka yang melengkapi malam peneladanan Mahbub ialah Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, KH Cholid Mawardi, KH Ahmad Bagja, Ridwan Saidi, KH Mujib Qulyubi, Abdullah Wong, Khotibul Umam Wiranu, serta dari pihak keluarga Mahbub, Isfandiari dan Mirasari Mahbub Djunaidi.

Bagi Omah Aksoro, literasi Mahbub Djunaidi penting dipahami oleh para penulis progresif yang tidak tersekat-sekat oleh kakunya keilmiahan sebuah tulisan. Tulisan Mahbub yang mengalir, lugas, tajam dan kritiknya yang menukik namun tidak lepas dari kejenakaan membuat karya-karyanya begitu segar dinikmati sepanjang masa. 

“Itulah Mahbub, yang dengan gaya tulisannya mampu mengubah tragedi menjadi komedi,” ujar pendiri Omah Aksoro, Fariz Alniezar menukil perkataan Charlie Chaplin di hadapan ratusan aktivis mahasiswa yang hadir dari berbagai daerah di sekitar Jakarta.

Si Burung Parkit di Kandang Macan

Manakib Mahbub Djunaidi yang membawa angin kejenekaan membuat para peserta makin antusias seiring larutnya malam. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin memberikan testimoni dengan menulis tulisan berjudul Mahbub Djunaidi, Si Burung Parkit di Kandang Macan. 

Semangat tulisan Lukman ini juga diilhami oleh sang pendekar pena yang begitu produktif memanen kata dan merangkai kalimat sehingga menjadi tokoh yang dikenang sepanjang masa. Lukman menulis dengan judul tersebut karena menurutnya, nama burung Parkit itu pernah Mahbub gunakan dalam sebuah tulisan.

“Mahbub berkata, pemerintah mana saja tidak suka penduduknya cerewet seperti burung parkit,” ujar Menag mengutip Mahbub.

Ia juga menjelaskan bahwa burung parkit merepresentasikan Mahbub sendiri karena burung parkit itu kecil dan tampilannya sederhana. Tidak tergolong burung mahal yang wajib dikoleksi. Tetapi parkit tidak pernah berhenti bernyanyi, tidak bisa berdiam diri. Burung tersebut juga pandai bergaul dengan burung-burung lain.

“Burung parkit itu juga simbol kesetiaan. Jangan lupa, parkit membawa kondusifitas lingkungan alam. Kira-kira seperti itulah Mahbub, pergaulannya yang luas seiring dengan kesibukannya sebagai aktivis, jurnalis, sastrawan dan juga budayawan,” terang Menag.

Mahbub, lanjut Menag, setia kepada NU yang sedari muda sudah aktif di berbagai organisasi NU seperti Ansor, PMII, dan PBNU. Bahkan ia adalah salah satu pendiri PMII pada 17 April 1960 dan menjadi Ketua Umum pertama selama kurang lebih tiga periode. Ia tetap menjadi parkit meski berada di kandang macan. Kandang macan yang dimaksud adalah PBNU yang berisi kiai-kiai besar dan alim serta tentu rezim otoriter Orde Baru. 

“Ia menjadi parkit atas nama dirinya sendiri sehingga tidak pernah menyusahkan orang lain,” tutur Menag yang juga mengutip surat-surat Mahbub Djunaidi ketika dirawat di RS Gatot Subroto Jakarta terkait pesannya cintanya kepada keluarga. Surat yang dibacakan Menag ini membuat Mirasati Mahbub Djunaidi terlihat menangis dan menyeka air matanya malam itu.

Jujur, berani, dan peduli

Testimoni juga disampaikan oleh KH Cholid Mawardi, KH Ahmad Bagja, dan Ridwan Saidi. Teman-teman pergerakan Mahbub Djunaidi ini sepakat bahwa pria yang lahir di Jakarta, 27 Juli 1933 itu adalah sosok yang jujur, berani, dan peduli. 

Orang-orang yang berinteraksi langsung dengan Mahbub justru kagum dengan kiprah keberaniannya karena disampaikan secara jenaka dan apa adanya. Bahkan foto karikatur Mahbub pernah menghiasi Majalah Gerr Nasional “Humor” terbitan 11-24 Desember 1991. Majalah itu memuat tulisan Mahbub tentang Bung Karno yang menurutnya tidak munafik soal cewek.

Menurut kesaksian Ketua Umum PB PMII periode 1977-1981 KH Ahmad Bagja, Mahbub tipikal orang yang mempunyai gagasan dinamis, berbeda dengan yang dipkirkan orang pada umumnya. Hal inilah yang menurut Ahmad Bagdja, dia adalah sosok yang seolah begitu mudah membuat orang-orang di sekelilingnya tertarik dengan ujaran dan pemikirannya.

Bagja bercerita, sebelum dia masuk Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dia mengungkapkan kegelisahannya terkait PMII yang hanya ada di IAIN. Dia ingin PMII juga dibangun di perguruan tinggi umum. Bagja sendiri ketika itu sedang menempuh kuliahnya di IKIP Jakarta (kini UNJ) sekitar tahun 1970-an.

Pria yang lahir di Kuningan, Jawa Barat tahun 1945 ini mendapatkan respon berbau pesismisme karena Muhammad Zamroni (Ketua PB PMII 1967-1970) dan beberapa kawannya di IKIP Jakarta mengatakan, tidak bisa, karena di sana HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) semua.

Namun, lanjut Bagja, berbeda dengan Mahbub. “Dia secara tegas menyampaikan ke saya, jangan berharap anak IAIN, kamu sendiri yang harus membangun PMII di situ,” ujarnya menirukan perkataan Mahbub.

Atas pemikiran dan tulisan-tulisannya yang begitu progresif, Mahbub Djunaidi bahkan sering diundang memberikan materi kepada kader-kader HMI oleh Ridwan Saidi (Ketua PB HMI 1974-1976) kala itu. Budayawan Betawi ini menilai bahwa sosok Mahbub dapat diterima oleh semua kalangan karena pergaulannya luas, idealis, dan humoris.

Pada malam Manakib Mahbub Djunaidi ini, juga dibacakan salah satu tulisan segar Mahbub berjudul “Pemikir”. Tulisan yang diterbitkan di Kompas, 11 Januari 1987 ini dibawakan oleh Sastrawan dan Novelis Abdullah Wong. 

Pria kelahiran Brebes ini mampu menyihir hadirin dengan gaya khasnya dalam membaca syair dan puisi. Pesan moral yang terkandung dalam tulisan Mahbub itu seolah mengalir jernih ke dalam dada dan pikiran ratusan aktivis yang memadati tempat manakiban. 

(Fathoni Ahmad)