Nasional

Klaim Islam Kaffah dari Pendukung Parpol, Unsur Kuat menuju Radikalisme

NU Online  ·  Ahad, 1 Juli 2018 | 18:41 WIB

Jakarta, NU Online 
Selepas Pilkada langsung serentak di 171 daerah Indonesia tengah menunggu penghitungan resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Di media sosial, muncul ketidakpuasan dari pendukung partai tertentu yang calonnya kalah di berbagai tempat dengan mengaitkan Islam kaffah. Mereka berpendapat, jika calon yang didukungnya kalah, berarti di situ pemeluk agamanya belum Islam kaffah. Di sisi lain, ia menuduh daerah tersebut banyak orang liberal. 

Menurut Direktur Said Aqil Siroj Institute Imdadun Rahmat, pandangan semacam itu adalah sebentuk klaim dari arogansi teologis yang diidap oleh orang atau kelompok penuduh. Fenomena semacam itu karena mereka klaim kebenaran mutlak kelompoknya dengan menyalahkan atau menuduh kelompok lain tidak sempurna Islamnya. 

“Ada klaim hanya mereka sendiri Islam kaffah yang sempurna agamanya. Menurut saya, arogansi seperti ini menunjukkan ada unsur kuat menuju radikalisme. Karena salah satu elemen penting dalam radikalisme agama adalah klaim mutlak hanya dirinya yang benar, yang lain salah,” jelasnya di Gedung PBNU, Jumat (29/6) malam. 

Ia mengaku prihatin kepada orang atau kelompok yang berpandangan seperti itu karena berpotensi menimbulkan pertentangan antarkelompok; menyulut kebencian kelompok dengan kelompok lain. 

“Dengan semikian ukhuwah islamiyah tidak akan tercapai kalau arogansi seperti masih ada,” tambah pria kelahiran Rembang, Jawa Tengah, 1971 tersebut.

Kedua, klaim sepeerti ini kontraproduktif dengan kelompok tersebut. Sebab akan berimbas kepada citra partainya yang mengakibatkan menjauhnya konstituen dari massa mengambang.  

"Ia melebarkan bibit jarak dengan massa mengambang. Sebagai partai dia akan kehilangan vootersnya. Hal ini penting diingat karena di Indonesia memiliki massa mengambang yang jumlahnya banyak. Maasssa ini akan berhasil ditarik kalau terpikat. Kalau dicaci maki dan dijelek-jelekkan, secara rasional, akan menjauh. Partai ini akan rugi dari ceruk itu.

Dari sisi gerakan dakwah, hal ini kontraproduktif dengan metode dakwah yang benar. Karena, dakwah yang benar adalah mencari simpati dan menambah kawan, bukan penghakiman tidak kaffah, tidak sempurna, libarel.

Hal itu, sambung penulis buku Ideologi Politik PKS: Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen, (2008) ini, justru akan membuat objek dakwah untuk Islam akan lari. 

“Tiadak cocok dengna prinsip dan metode yang benar dalam berdakwah,” pungkasnya. (Abdullah Alawi)