Nasional

Kiai Perlu Klik Lagi dengan Wayang

NU Online  ·  Jumat, 29 November 2013 | 20:17 WIB

Jakarta, NU Online
Para kiai dan kalangan pesantren perlu kembali mengakrabkan diri dengan wayang yang menjadi bagian penting dalam sejarah dan proses dakwah Islam di Indonesia. Kehadiran kiai dan pesantren diharapkan dapat mengembalikan pertunjukan wayang sebagai media dakwah, tidak hanya sebagai tontonan.<>

Wakil Ketua Pengurus Pusat Lembaga Seni Budaya Muslim (Lesbumi) M. Jadul Maula menyayangkan, banyak orang Islam termasuk kalangan pesantren sendiri yang merasa asing dengan wayang. “Kalau ada kiai yang bersanding dengan dalang itu dianggap aneh. Kiai dianggap tidak ‘klik’ dengan wayang,” katanya di Jakarta, Jum’at (29/11).

Padahal sejarah mencatat bahwa wayang merupakan khazanah pengetahuan pesantren. Di dalamnya terdapat struktur ajaran dan kerohanian Islam yang tidak ditemukan dalam ajaran agama lain. Dan melalui wayang inilah juga Wali Songo memperkenalkan dasar-dasar ajaran Islam yang membuat kalangan pribumi tidak alergi terhadap agama ini.

Para wali melakukan reformasi dan transformasi wayang menjadi lebih dinamis dan edukatif. Fungsi pertunjukkannya yang bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain menjadi media yang tepat untuk menyebarkan Islam ke berbagai pelosok.“Melalui wayang, ajaran dari Arab dan Persia dipribumisasikan. Melalui wayang, lahir komunitas Islam dari pribumi,” kata Jadul Maula.

Menurutnya, keterasingan antara kiai dan pesantren dengan wayang dimulai dari keterputusan sejarah Islam, terutama sejak merosotnya kesultanan Mataram sebagai pusat penyebaran budaya Islam di satu sisi, dan pada sisi lain terbukanya terusan Suez pada tahun 1869 M menjadikan arus informasi Keislaman yang datang dari Tanah Arab berlangsung masif. Para santri mulai mempelajari Islam dari dunia Arab dan melupakan berbagai media dakwah dan pembelajaran dari para penyebar Islam Awal.

Setelah itu melalui sejarah politik berikutnya, produk kesenian yang dikaryakan oleh para penyebar Islam ini dianggap bukan bagian dari Islam, dan pada titik tertentu diharamkan. Bukan hanya wayang, tetapi juga Jatilan (kuda lumping), tari topeng, dan sejenisnya tidak dianggap sebagai kesenian santri.

Akibat berikutnya, seni di lingkungan pesantren mengalami masa suram. “Saya pernah diundang oleh Kementerian Agama dalam acara temu komunitas seniman-budayawan muslim Indonesia. Saya menangis, karena yang datang datang hanya hadroh sama qosidah,” katanya.

“Memang pernah ada ‘masa kegelapan’ dimana wayang ditampilkan sebagai media dakwah, tetapi murni entertaintmen. Wayang menjadi murni hiburan yang kacau. Namun itu mungkin juga disebabkan karena kiai dan pesantren terlebih dulu jauh dari wayang,” kata pengurus Lebumi yang mempunyai kegiatan 2 tahunan pagelaran wayang 11 malam di Yogyakarta.

Lesbumi berharap para kiai dan pesantren kembali mengakrabkan diri dengan wayang. “Mungkin bisa dimulai kiai dan santri ikut duduk menyimak kembali pagelaran semalam suntuk, meskipun belum paham. Minimal menjadi simbol dan pesan kepada masyarakat bahwa wayang adalah media dakwah. Kalau kiai pada nonton, tentu sinden menjadi lebih sopan, pilihan lakonnya juga lebih pas dan dalang juga akan merasa belajar kembali tentang Islam,” katanya.

Ditambahkan, pihaknya dalam beberapa tahun terakhir melakukan program peningkatan apresiasi terhadap wayang dan menggelar forum dialog antara kiai dan dalang.

Ada perkembangan menarik, di pesantren wayang mulai diajarkan kembali. Seperti di Pesantren Sunan Pandanaran. Pesantren Krapyak juga akan memasukkan pewayangan kegiatan ekstrakurikuler. (A. Khoirul Anam)