Nasional

Khutbah Idul Adha: Akal Tak Selamanya Mampu Mencerna Kebenaran

Sel, 13 September 2016 | 10:05 WIB

Jember, NU Online
Perintah Allah bersifat  absolut. Apapun dan bagaimanapun perintah itu, harus diterima tanpa perlu menunggu persetujuan akal. Sebab, akal tidak selamanya mampu mencerna kebenaran. Hal tersebut diungkapkan Katib Syuriyah PCNU Jember, Ustadz Muhammad Nur Harisudin saat menyampaikan  khutbah Idul Adha di masjid Riyadus Sholihin, Kelurahan Gebang, Kecamatan Kaliwates, Jember, Jawa Timur, Senin (12/9). 

Menurut Ustadz Haris, perintah Allah kepada Nabi Ibrahim AS agar menyembelih anaknya, Nabi Ismail AS, sesungguhnya dari sisi akal sehat tidak bisa diterima. Bayangkan, Nabi Ibrahim AS disuruh menyembelih darah dagingnya sendiri yang kehadirannya begitu dirindukan berpuluh-puluh tahun lamanya. 

"Namun karena beliau tunduk dan patuh kepada perintah Allah, maka perintah tersebut dilaksanakan," tukasnya.

Alumni Pondok Pesantren Salafiyah-Syafi'iyah, Asembagus, Situbondo itu menambahkan, dalam beragama terdapat aturan syari'at yang masuk akal (ta'aqquli) dan tidak masuk akal.  Ta'abbudi adalah  aturan yang terkait dengan ibadah-ibadah mahdlah seperti sholat lima waktu, jumlah rakaat, tata car haji, puasa dan sebagainya. 

Akal tidak mampu memperoleh alasan-alasan misalnya mengapa jumlah rakaat Shalat Ashar itu 4 rakaat dan Subuh 2 rakaat dan sebagainya. Akal juga tidak  bisa mengerti mengapa  ibadah haji harus dilakukan dengan cara mengelilingi Ka'bah yang hanya batu itu. 

"Jawabannya,  karena itu  ta'abbudi, yang tidak bisa diganggu gugat dan harus diterima apa adanya. Akal tidak mampu merasionalkannya," jelas Ustadz Haris.

Ia lalu menyitir pendapat seorang Filosof Barat, Immanuel Kant, yang mengkritik orang-orang yang selalu mendewakan akal. Seolah akal adalah segala-galanya. Padahal, akal sangatlah terbatas. Keterbatasan tersebut bisa dilihat misalnya dari ketidakmampuan akal menembus kebenaran yang dicari pasca kematian. Akal juga tidak bisa menembus kebenaran-kebenaran akhirat. 

"Ketidakmampuan akal dalam memahami pesan Tuhan harus dipahami sebagai bentuk keterbatasan akal. Karena terbatas ini, maka agama Islam memberi khabar tentang akhirat, kehidupan pasca kematian, hari kiamat dan lain sebagainya yang tidak bisa dipahami oleh akal. Karena itu, dalam menyikapi perintah Allah, tidak boleh kita hanya melihat  dari sisi rasionalitasnya semata," urainya. (Aryudi A. Razaq/Fathoni)