Jakarta, NU Online
Ketua PBNU H Robikin Emhas, berpendapat KUHP sebagai ketentuan umum menjadi wajar jika korupsi masih diatur di dalam KUHP. Namun, karena tindak korupsi termasuk kejahatan luar biasa dengan daya rusaknya, maka korupsi juga harus dijadikan delik khusus.
Demikian disampaikan Robikin saat mengisi Diskusi Publik Membincang Delik Korupsi dalam RUU KUHP, yang diselenggarakan Lakpesdam PBNU di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Rabu (31/1).
"Peraturan lebih spesifiknya tidak di dalam KUHP. Jadi KUHP hanya memberikan cantolan umum, sehingga ungkapan lex spesilis dan lex generalli, hukum yang khusus mengalahkan hukum yang umum, tetap memiliki sandaran," katanya.
Namun, ia mengkhawatirkan kalau materi muatan norma-norma yang ada di Undang-Undang korupsi masuk semua ke KUHP, karena bisa berpotensi menjadikan peraturan korupsi bukan menjadi delik khusus, tapi delik umum.
Menurutnya, kalau peraturan tentang korupsi masuk ke delik umum, itu membutuhkan kajian terlebih dahulu: tentang kewenangan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Sementara selama ini, KPK sebagai lembaga anti-korupsi masih mendapat kepercayaan tertinggi daripada Lembaga hukum lainnya dalam menangani kasus korupsi.
"Jadi hemat kami bahwa harus tetap menjadikan korupsi sebagai delik khusus. Pengaturan sedemikian rupa di dalam KUHP tidak boleh menghilangkan substansi tentang korupsi adalah ekstra ordinari crime," pungkasnya.
Selain Robikin, forum yang dipandu Khamami Zada ini dihadiri pembicara Komisi III DPR RI H Asrul Sani, Desk Anti Korupsi Lakpesdam PBNU Hifdzil Alim, dan MForAccy CA CFE Budi Santoso. (Husni Sahal/Kendi Setiawan)