Nasional

Ketika Ulama Perempuan Berbagi Kisah Dakwah ala Pesantren

Sab, 30 Mei 2020 | 01:00 WIB

Ketika Ulama Perempuan Berbagi Kisah Dakwah ala Pesantren

Nyai Hj Durrotun Nafisah Zaim (kiri) dan Nyai Hj Ienas Tsuroiya (kanan) tampil dalam diskusi daring yang diinisiasi Pusat Studi Pesantren, Jumat (29/5) kemarin. (Foto: istimewa)

Kudus, NU Online
Ada kisah menarik dalam Pra Halaqah Perempuan Ulama 2020 yang diinisiasi Pusat Studi Pesantren (PSP) Jumat (29/5) kemarin. Dua ulama perempuan asal Rembang yang didaulat sebagai narasumber berbagi kisah selama berdakwah dalam diskusi daring melalui aplikasi Zoom bertema ‘Jalan Dakwah di Media Sosial dan Penguatan Literasi Pesantren’ ini.

Pembicara pertama, Nyai Hj Durrotun Nafisah Zaim menceritakan perjalanan dakwahnya di lingkungan etnis Tionghoa. Pembicara kedua, Nyai Hj Ienas Tsuroiya menceritakan perjalanan dakwah melalui media sosialnya.

Pengasuh Pesantren Kauman Lasem Rembang, Nyai Hj Durrotun Nafisah Zaim mengungkapkan kisahnya selama berdakwah di lingkungan Pecinan, daerah pemukiman warga Tionghoa.

Baca juga: Sejumlah Ibu Nyai Muda Siap Ramaikan Dakwah di Medsos 

“Pesantren kami berdiri di tengah kampung Pecinan. Ketika pertama kali datang, kami disambut baik oleh tetangga dan warga Pecinan. Mereka berharap kehadiran kami dapat mengatasi kebiasaan buruk masyarakat yang menjadikan pos kampling di samping pesantren sebagai tempat mabuk-mabukan,” terang Nyai Durroh, sapaan akrabnya. 

Ia mengungkapkan, dengan menggunakan dakwah persuasif yang terinspirasi dari Walisongo, para santri diminta mendekati pemabuk tersebut dengan membawa kitab sembari bincang-bincang. Singkat cerita, tempat tersebut tidak lagi digunakan sebagai tempat mabuk.

Istri KH Zaim Ahmad (Gus Zaim) ini juga menceritakan bagaimana cara berdakwah dengan damai lainnya ala pesantren Kauman Lasem Rembang, dengan mengirimkan santri-santrinya untuk bertakziyah dan tahlilan di rumah non muslim.

“Saat itu ada tetangga non muslim yang meninggal, kami diminta bertakziyah. Lalu, dikirimlah beberapa santri untuk bertakziyah. Karena takziyah sendiri itu kan berarti menghibur. Sehingga tidak menyalahi syariat jika kami datang sekedar menghibur, dan tidak mendoakan,” tuturnya.

Suatu ketika, lanjut Nyai Durroh, saat tetangga pesantren yang nonmuslim meninggal, salah seorang anggota keluarga itu yang muslim meminta dirinya menggelar tahlilan selama tujuh hari di rumah duka. Dengan senang hati, ia pun mengiyakan permintaan tersebut.

“Akhirnya, kami kirimkan sejumlah santri ke rumah tersebut untuk tahlilan. Namun, tahlil ditujukan untuk kakek-neneknya masing-masing santri yang telah meninggal. Jadi, di sana kami hanya numpang tempat saja. Niatnya tidak kami tujukan kepada tetangga yang meninggal itu,” ungkapnya.

Dengan demikian, menurut dia, tidak mengecewakan tetangga sehingga hubungan sosial tetap berjalan harmonis. Selain itu, juga tidak mengorbankan syariat yang menjadi pegangan sejak dahulu kala.
 
Dakwah di medsos
Selama Ramadhan kemarin, Nyai Durroh mulai berdakwah yang disiarkan langsung melalui Channel YouTube Pondok Kauman Lasem. Tahun ini, ia memulai pengajian kitab Tafsir al-Ibriz yang dipadukan dengan Tafsir al-Iklil dan Tafsir Ibnu Katsir. “Alhamdulillah, respons masyarakat yang menyimak siaran langsung pengajian ini sangat baik,” ungkapnya.

Dalam kesempatan yang sama, Nyai Hj Ienas Tsuroiya juga menceritakan kisahnya berdakwah melalui media sosial yang ia lakukan empat tahun silam. Bersama sang suami, KH Ulil Abshar Abdalla, ia menggunakan platform Facebook sejak 2017 hingga sekarang.

“Awalnya sederhana. Menjelang Ramadhan waktu itu, saya diajak suami mengaji kitab Ihya’ Ulumiddin. Beliau yang mengaji, saya yang mendengarkan," ujar Ning Ienas, sapaan akrabnya.
 
"Saat itu, saya berpikir akan sangat mengantuk jika yang ngaji hanya kami berdua. Akhirnya, saya berpikir bagaimana jika pengajiannya disiarkan langsung melalui Facebook,” sambungnya.

Putri sulung Gus Mus yang menyebut dirinya sendiri sebagai Mbak Admin ini memegang kendali setiap pengajian yang disiarkan langsung itu. Ia mengaku, banyak respons positif yang diterima. Meskipun awalnya banyak yang berkomentar negatif, lambat laun berubah menjadi positif.

“Alhamdulillah, sudah dua tahun terakhir ini tidak ada lagi yang berkomentar negatif. Jadi, modal utama berdakwah di medsos itu harus menguatkan hati menerima segala respons yang ada,” tandas Ning Ienas.

Melihat antusias masyarakat yang menyimak, hingga tercipta komunitas SO (santri online), ia berpikir penting sekali diadakan pengajian virtual. Agar konten-konten yang menyajikan Islam secara keras tidak dapat menguasai dunia maya.

Ning Ienas berpesan untuk tetap percaya diri dalam menciptakan pengajian daring. “Mengenai sedikitnya viewers jangan menjadikan minder. Karena nantinya pasti akan terbaca secara tidak langsung,” pungkasnya.

Kontributor: Afina Izzati
Editor: Musthofa Asrori