Jakarta, NU Online
Agama Islam memerintahkan pemeluknya yang mampu, untuk berqurban pada hari raya Idul Adha dan tiga hari setelahnya atau hari Tasyrik. Menurut KH Said Aqil Siroj, qurban akan memperkuat rohani seorang Muslim. Tapi, ada syaratnya.
<>
“Dari sisi spiritul, setiap amal sholeh, amal baik dengan ikhlas, dengan tulus, akan memperkuat nuansa kerohanian. Itulah ajaran Islam yang sebenarnya,” kata kiai yang akrab disapa Kang Said itu, di gedung PBNU, Jakarta pada Rabu, (9/10).
Ketua Umum PBNU itu kemudian menggeser makna spiritul qurban ke makna sosial. Jadi, kata dia, Islam bukan hanya bicara ritual yang hanya bersifat individual seperti shalat, puasa, tapi membangun ritual sosial yaitu zakat, qurban, untuk membangun kebersamaan umat.
Ia kemudian bercerita tentang asal-usul qurban. Menurut kiai asal Kempek, Cirebon, Jawa Barat tersebut, qurban itu ritual agama kuno. “Dulu qurban itu manusia, tumbal ya. Ketika sistem kerajaan, raja itu berkuasa penuh. Rakyat itu tidak memiliki apa-apa.”
Bahkan, kata dia, penguasa raja itu bisa saja memerintahkan seorang anak untuk dilempar ke jurang, untuk dijadikan tumbal. “Kemudian dalam sejarah dikatakan, Nabi Ibrahim pun diperintahkan Allah menyembelih putranya, Ismail, karena waktu itu tradisinya kurban itu dengan manusia, tapi dibatalkan ketika Nabi Ismail siap disembelih. Dibatalkan, menjadi kambing,” katanya.
Makna qurban itu, kata kiai yang pernah nyantri di Lirboyo dan Krapyak tersebut, di hari yang bahagia, Islam mengajarkan pemerataan. “Hari itu semua makan daging lah. Jangan ada yang kaya makan daging, yang miskin makan tempe,” ungkapnya.
Lagi-lagi Kang Said menegaskan, bahwa dengan adanya ibadah qurban itu artinya Islam agama yang memerhatikan pemerataan.
Ia kemudian menceritakan temuannya tentang sejarah Idul Fitri dan Idul Adha. Menurutnya, di Madinah pada masa jahiliyah ada perayaan atau festival yang disana disebut mahrojan. Kemudian datang Islam, tidak mengubah acaranya, tapi isinya. “Nabi Muhammad mengatakan, mahrojannya kita teruskan, tapi acaranya beda kontennya, subtansinya; Idul Fitri dan Idul Adha.”
Mahrojan pada masa Islam, tambah Kang Said, diisi dengan shalat, takbir. Tapi tidak hanya sampai di situ, Islam mementingkan pemerataan umat, “Kalau Idul Fitri bagi-bagi zakat fitrah. Kalau Idul Adha bagi-bagi daging,” pungkasnya. (Abdullah Alawi)
Terpopuler
1
Guru Madin Didenda Rp25 Juta, Ketua FKDT: Jangan Kriminalisasi
2
Workshop Jalantara Berhasil Preservasi Naskah Kuno KH Raden Asnawi Kudus
3
Rapimnas FKDT Tegaskan Komitmen Perkuat Kaderisasi dan Tolak Full Day School
4
Ketum FKDT: Ustadz Madrasah Diniyah Garda Terdepan Pendidikan Islam, Layak Diakui Negara
5
LBH Ansor Terima Laporan PMI Terlantar Korban TPPO di Kamboja, Butuh Perlindungan dari Negara
6
Dukung Program Ketahanan Pangan, PWNU-HKTI Jabar Perkenalkan Teknologi Padi Empat Kali Panen
Terkini
Lihat Semua