Nasional

Kemenag Adakan Seminar Folklor Keagamaan Nusantara

Sel, 15 Oktober 2019 | 09:30 WIB

Kemenag Adakan Seminar Folklor Keagamaan Nusantara

Seminar Hasil Penelitian Folklor Keagamaan Nusantara Puslitbang Lektur Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. (Foto: NU Online/Abdullah Alawi)

Bogor, NU Online
Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Lektur Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI mengadakan Seminar Hasil Penelitian Folklor Keagamaan Nusantara di Hotel Swiss Bell, Kota Bogor, Jawa Barat, Senin dan Selasa (14-15/10).

Seminar tersebut menyajikan hasil penelitian yang dilakukan internal Puslitbang tentang Foklor di beberapa daerah yaitu Cirebon, Kuningan, dan Ciamis (Jawa Barat), Pati, Pekalongan (Jawa tengah), Yogyakarta, Aceh, Banyuwangi (Jawa Timur), Ambon (Maluku), Jambi, dan Bengkulu.

Seminar yang dibuka Kepala Lektur Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Muhammad Zaid tersebut, dimulai dengan pemaparan penelitian Asep Saefullah di Cerebon, Kuningan, dan Ciamis.

“Foklor adalah kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan atau melalui contoh yang disertai gerak isyarat atau pembantu pengingat,” katanya. “Foklor lisan adalah foklor yang berbentuk murni yang bentuknya terdiri atas, satu, bahasa rakyat, dua, ungkapan tradisional, tiga, pertanyaan tradisional, empat, sajak dan puisi rakyat, lima, cerita prosa rakyat, dan nyanyian rakyat,” jelas Asep menyampaikan definisi dari James Danandjaya dalam buku Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lain.

Menurut Asep foklor, di antaranya cerita rakyat dapat menjadi salah satu media menyampaikan pesan-pesan religius dan moral dari generasi tua kepada generasi muda.

Di daerah Panjalu, Ciamis, misalnya, Asep menemukan cerita tentang Prabu Borosngora. Ia masuk Islam pada tahun 1537 di Makkah setelah ketemu Sayidina Ali. Pada pertemuan itu, Prabu Borosngoora diberi oleh-oleh sebuah pedang sakti, air Zamzam, dan jubah.

“Air Zamzam yang dibawa dari Makkah itu kemudian sekarang menjadi Situ Lengkong yang hingga saat ini jadi cagar alam seluas 15 hektar,” katanya.

Foklor tersebut, menurut Asep, memiliki banyak makna, di antaranya adalah misi dari leluhur masyarakat Sunda di daerah Panjalu agar anak cucunya menjaga lingkungan hidup, salah satunya hutan yang menjadi cagar alam sekarang itu.

Selain foklor yang bernuansa Islam, seminar tersebut menyajikan foklor dari agama-agama lain seperti katolik di Ambon.

“Ambon kaya cerita rakyat, bahkan lebih kuat budaya lisannya daripada tradisi tulisnya. Namun, cerita rakyat Maluku sangat memprihatinkan, sudah banyak hilang,” ungkap Masmedia Pinem yang meneliti foklor Maluku, di antaranya Foklor Rasul Joseph Kam.

Pewarta: Abdullah Alawi
Editor: Fathoni Ahmad