Nasional

Kasus Tiga Anak Diperkosa Ayah Kandung, Itikad Baik Polisi Dipertanyakan

Sel, 12 Oktober 2021 | 03:30 WIB

Kasus Tiga Anak Diperkosa Ayah Kandung, Itikad Baik Polisi Dipertanyakan

Ilustrasi: kasus pemerkosaan tiga anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan oleh ayahnya sendiri. (Foto: projectmultatuli.org)

Jakarta, NU Online

Aktivis perempuan dan anak, Dwi Rubiyanti Kholifah mengaku sangat lemas setelah membaca kasus pemerkosaan anak usia di bawah 10 tahun oleh ayahnya sediri di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Ia membayangkan betapa hancurnya perasaan ibu dari ketiga anak korban perkosaan tersebut.


"Setelah membaca ini saya jadi lemas, membayangkan saya adalah ibu Lydia, pasti hancur hatinya berlapis-lapis,” ungkapnya kepada NU Online, Selasa (12/10/2021).


Betapa tidak hancur perasaannya, kata Ruby, setelah ketiga anaknya mendapat perlakuan biadab dari ayah mereka. Aduan yang dilaporkan kepada layanan perlindungan dan pihak berwajib (polisi) sama sekali tidak menunjukkan itikad baik untuk melindungi korban.


"Pertama oleh tindakan kejahatan mantan suami pada anak-anak mereka. Kedua, pihak layanan kasus kekerasan terhadap perempuan dan kepolisian yang tidak meletakkan laporan seorang ibu sebagai basis data untuk penelusuran yang lebih dalam, malah melakukan denial. Ketiga, serangan balik pada ibu Lydia, jelas upaya sistematis untuk membungkan korban dan personel kepolisian menggunakan power aparatur negara,” bebernya geram.


Peristiwa perkosaan dan kekerasan seksual kepada anak ini, bagi Ruby, sangat melukai nurani dan rasa keadilan masyarakat. Kasus kekerasan seksual terhadap anak itu merupakan tindakan keji dan tidak berperikemanusiaan.


“Kekerasan seksual pada anak-anak jelas merupakan kejahatan. Tidak ada satupun hukum maupun tafsir agama yang bisa dipakai untuk justifikasi kebenaran,” kata Direktur Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia ini.


"Maka, mendudukkan kasus ini dengan perspektif hukum, kemanusiaan, dan gender sangat penting,” sambungnya.


Dalam hal ini, ditegaskannya, hukum tidak hanya berupa peraturan semata, melainkan sebuah sistem hukum yang meliputi subtansi, struktur, dan kultur hukum. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah membangun hukum yang berkeadilan gender, mengintegrasikan perspektif gender dan pengintegrasian perspektif kepentingan terbaik bagi anak dalam rangka upaya pemenuhan hak-haknya. 


Sehingga upaya yang dilakukan tidak hanya mendorong lahirnya kebijakan hukum yang berkeadilan gender, melainkan juga mengubah paradigma yang tidak adil gender menjadi berkeadilan gender dan pada akhirnya tercipta budaya hukum masyarakat yang berkeadilan gender.


“Jadi, memiliki aparat perempuan saja tidak cukup, karena jika tidak memiliki perspektif gender maka akan sulit melihat ini sebagai kasus serius,” tegas peraih 100 perempuan berprestasi versi BBC pada 2014 ini.


Dia menambahkan, kasus pemerkosaan anak yang penyelidikan dihentikan dengan alasan tidak adanya bukti semakin memperkuat urgensi pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang mengandung norma khusus terkait tindak pidana kekerasan seksual.


“Sekali lagi kita penting mendorong RUU TPKS segera disahkan, termasuk mencakup bentuk kekerasan seksual seperti yang dialami oleh ketiga korban tersebut,” tandas Ruby.


Keberaadaan RUU TPKS memang sudah amat sangat dibutuhkan, mengingat makin banyaknya kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia.

 

Menurut temuan Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan, 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan berlangsung sepanjang 2020; dan setiap dua jam terjadi tiga kasus kekerasan seksual dan kasus Kekerasan Berbasis Gender Siber (KBGS). Kenaikannya mencapai 235 persen dibandingkan tahun sebelumnya.


Kontributor: Syifa Arrahmah

Editor: Fathoni Ahmad