Nasional

Kalau Pilkada DKI Itu Politisasi Agama, HTI Gerakan Politik Agama

NU Online  ·  Senin, 24 Juli 2017 | 10:01 WIB

Jakarta, NU Online
Dosen Antropologi Universitas King Fahd Arab Saudi Sumanto Al-Qurtubi menjelaskan perbedaan antara agama yang dipolitisasi dan politik yang diagamaisasi. Kedua hal itu terjadi diberbagai lapisan masyarakat.

Ia menyebut Pilkada Jakarta sebagai contoh. Menurutnya, hal itu bagian dari agama yang dipolitisasi. "Bahwa auliya dan sebagainya tidak boleh memilih pemimpin kafir itu adalah bagian dari agama yang dipolitisasi," kata Sumanto saat mengisi acara Ngobrol Kebangsaan: Merayakan Toleransi dalam Keberagaman di Gedung Konvensi Kalibata, Jakarta Selatan, Ahad (23 /7).

Kata "auliya" itu multitafsir. Tetapi kenapa di Indonesia hanya diartikan sebagai pemimpin, larangan pemimpin terhadap non-Muslim? "Itu kan bagian dari politisasi terhadap wacana dan teks-teks keislaman," katanya.

Lebih lanjut ia mengatakan, kata auliya itu tafsir, makna, dan penjelasannya begitu beragam dan plural. Masyarakat Arab sendiri, sambungnya, tidak mengartikan kata “auliya” itu sebagai pemimpin. Mereka mengartikan kata pemimpin itu rujukannya pada “wulah”, bukan kata “auliya”.

"Itu masyarakat orang Arab sendiri menerjemahkan kata itu," kata Sumanto.

Tetapi kata “auliya” di Indonesia dipelintir sedemikian rupa sehingga seolah-olah ada larangan terhadap kepala daerah.

Selain agama yang dipolitisasi, ada juga politik yang diagamaisasi, contohnya Hizbut Tahrir. Hizbut Tahrir itu, kata Sumanto, gerakan politik bukan gerakan agama. Khilafah itu adalah konsep politik bukan konsep agama.

Tetapi, Hizbut Tahrir mengemas sedemikian rupa seolah-olah konsep khilafah itu adalah konsep agama. Seolah-olah yang mereka perjuangkan itu adalah perjuangan agama. Padahal itu adalah konsep politik dan memperjuangkan politik.

"Hizbut Tahrir itu partai politik, bukan gerakan dakwah. Omong kosong itu kalau mengatakan Hizbut Tahrir itu gerakan dakwah," tegasnya. (Husni Sahal/Alhafiz K)