Nasional

Jargon Hadratussyekh Jadi Dasar Penting Hubungan Agama dan Negara

NU Online  ·  Kamis, 5 Juli 2018 | 20:00 WIB

Jakarta, NU Online 
Sekretaris Jenderal PBNU H Helmy Faisal Zaini menegaskan pentingnya jargon Hubbul Wathon Minal Iman (nasionalisme bagian dari iman) yang dicetuskan Hadratussyekh KH Hasyim Asyari pada 1914 sebagai pijakan hubungan antara agama dan negara. 

Menurut Helmy, jargon tersebut merupakan pemikiran yang sangat mendasar dalam hal hubungan agama dan negara saat Indonesia belum merdeka dan belum mempunyai bentuk negara. 

"Ini tanda-tanda kewalian beliau (Hadratussyekh KH Hasyim Asyari) bahwa ini suatu persiapan untuk meletakkan dasar-dasar di dalam meletakkan hubungan agama dan negara," kata Helmy pada acara Halal bi Halal dan Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan LP Ma'arif NU di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Kamis (5/7).

Dalam perkembangannya, lanjut Helmy, hubungan agama dan negara di seluruh negara terjadi tarik-menarik, yang kemudian terbagi menjadi tiga pandangan terkait hubungan keduanya. 

"Saya menyitir apa yang disampaikan Gus Dur. Dalam pandangan Gus Dur, setidaknya ada tiga paradigma di dalam meletakkan hubungan agama dan negara," ucapnya. 

Pertama paradigma integralistik, yaitu agama dan negara menyatu. Kedua paradigma simbiotik, yakni hubungan yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan. Ketiga paradigma sekularistik, yaitu pemisahan agama dan negara. 

Pada Muktamar NU Banjarmasin 1936, para kiai berkomitmen terhadap bentuk negara Indonesia. Menurut Helmy, saat itu para kiai meletakkan diri ke dalam komitmen untuk menjadikan Indonesia ini sebagai darussalam (negara damai) mengingat bentuk tersebut yang memungkinkan untuk hidup bersama di tengah keberagaman yang ada di Indonesia, baik suku, agama, ras, dan antargolongan. 

"Maka ketika para founding fathers kita mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia, ini adalah sesungguhnya merupakan bagian dari konsensus para ulama kita," jelasnya. (Husni Sahal)