Nasional

ISNU Desak Road Map Kebijakan Energi yang Tepat dan Berani

NU Online  ·  Jumat, 19 Oktober 2012 | 12:09 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua Umum PP ISNU Ali Masykur Musa mendesak adanya road map kebijakan energi yang tepat dan berani, untuk mengingatkan bahwa isu energi saat ini hanya tereduksi pada persoalan subsidi PPB ketika harga minyak dunia naik dan konsumsi telah melampaui kuota.
<>Ia menjelaskan, persoalan ini sekedar hilir dan resultante dari mindset pemerintah yang hanya sibuk dengan budget policy, tanpa berfokus kepada energi policy. 

“Yang dipikir hanya sekedar ketahanan APBN, bukan ketahanan energi,” katanya dalam diskusi panel ahli dengan tpik Energi, Pertambangan dan Lingkungan Hidup yang digelar di gedung PBNU, Jum’at (19/10). Diskusi ini merupakan rangkaian dari berbagai diskusi yang akan menjadi masukan bagi NU bagi bangsa atas berbagai persoalan yang dihadapi.

Mantan ketua umum PB PMII ini meminta agar pemerintah berani menyusun dan melaksanakan peta jalan kebijakan energi yang berorientasi kepada kedaulatan energi dengan penguasaan sektor hulu dan ketahanan energi dengan jaminan pasokan dari sektor hilir.

Lebih jauh, ia menjelaskan, persoalan di hulu terkait dengan penguasaan sumber daya energi dan mineral, dengan dominasi asing yang sangat menonjol. Sektor hulu, 88.8 persen wilayah kerja pertambangan migas dikuasai asing sementara BUMN hanya menguasai sekitar 10 persen.

“Ini artinya, kontrol terhadap cadangan dan produksi migas nasional tidak berada di tangan negara, yang berdampak pada nisbinya makna penguasaan negara terhadap sektor energi yang penting dan strategis,” paparnya. 

Bukan hanya di sektor minyak bumi, konsesi tambang mineral sebagian besar juga dikuasai oleh korporasi asing, kecuali di sektor pertambangan batubara.

Sementara itu, persoalan di sektor hilir adalah keterbatasan infrastruktur. Keterbatasan kilang minyak dan fasilitas pemurnian dan distribusi gas domeestik telah mengancam ketahanan pasokan energi dalam negeri. Tiadanya penambahan kapasitas kilang minyak telah mengakibatkan pasokan BBM dalam negeri tergantung kepada impor, baik dalam bentuk minyak mentah maupun BBM, yang nilai bukunya mencapai ratusan trilyun per tahun. 

“Impor telah melanggengkan praktek brokerage dan afia perminyakan yang merugikan kepentingan nasional,” tandasnya.

Keterbatasan fasilitas pengolahan dan distribusi gas juga berpotensi mengagalkan upaya pengarusutamaan pemanfaatan gas domestik (DMO) serta mengancam program diversifikasi dan konversi dari minyak ke gas. 

Pada pertambangan umum, isu sentral sektor hilir adalah keterbatasan fasilitas pengolahan minral (Smelter) yang menghasilkan nilai tambah bagi perekonomian dalam negeri. 

“Para pelaku usaha tambang mineral selama ini telah menikmati rezeki nomplok menjual produk mentah (ore) tanpa kewajiban menjalankan hilirisasi tambang. Akibatnya, nilai tambah eksploitasi tambang mineral dalam negeri sangat minimal” ujarnya.

Beberapa kebijakan energi yang diusulkan ISNU diantaranya adalah, pertama, revisi UU Migas no 22/2001 dan UU Minerba No 4/2009 yang lebih memihak kepentingan nasional, kedua, menjalankan dan terus mengupayakan renegosiasi kontrk-kontrak tambang yang merugikan, ketiga memberikan prioritas kepada BUMN untuk mengelola dan menyelenggarakan industri pertambangan nasional, keempat, memprioritaskan penggunaan sumber-sumber energi primer seperti minyak, gas dan batubara untuk kepentingan domestik.

Selanjutnya, ISNU juga meminta agar segera direalisasikan pembangunan minyak dan memperbanyak pembangunan fasilitas pemurnian gas (FSRU) serta emperluas jalur distribusi gas dari mulut tambang ke konsumen.

Hadir dalam diskusi tersebut Rudi Rubiandini, wakil menteri ESDM, Kurtubi, pengaman, Hendri Prio Santoso, Dirut PGN dan Imam Hendargo serta Dewi Aryant.


Penulis: Mukafi Niami