Nasional

IPNU Desak Regulasi Otonomi Pendidikan

NU Online  Ā·  Rabu, 2 Mei 2018 | 01:15 WIB

Jakarta, NU Online
Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) bukan semata momentum peringatan setiap tahun yang tidak berarti. Tetapi, harus ada perenungan terhadap apa yang telah semua pihak upayakan untuk memanusiakan manusia sebagai tujuannya. Hal ini disampaikan Asep Irfan Mujahid, Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU) saat ditemui NU Online di Pusat Pemberdayaan Pemuda dan Olahraga Nasional (PP-PON) Cibubur, Jakarta.
Ā 
"Ini berarti harus menjadi perhatian serius oleh semua pihak, khususnya pemangku lembaga pendidikan agar tidak terjebak ritual seremonial memperingati dan merayakan hardiknas,ā€ katanya, Selasa (1/5). Yang terpenting pemangku kebijakan pendidikan saling berbagi dan bahu membahu mewujudkan tujuan pendidikan, yakni memanusiakan manusia, lanjutnya.
Ā 
Asep menguraikan salah satu contohnya disparitas lulusan sekolah dengan realitas kehidupan masyarakat yang akan diterima oleh peserta didik masih sangat jauh. Relevansi sistem, kurikulum, dan metode pembelajaran yang diterapkan dalam dunia pendidikan masih belum menjawab tantangan realitas yang bakal dihadapi peserta didik.
Ā 
"Sejauh ini pemerintah sudah bekerja keras memajukan pendidikan nasional dengan memperbaharui perangkat kurikulum, metode, maupun peningkatan infrastruktur dan fasilitas pendidikan. Tetapi itu tidak serta merta akan berhasil menjawab tantangan tersebut," katanya.
Ā 
Menurutnya, kualifikasi pendidik tak bisa ditinggalkan. Hal ini harus betul-betul diperhatikan sehingga mereka mempunyai semacam sensitivitas untuk lebih melakukan proses pendampingan terhadap anak didiknya. Guru bukan hanya terpaku pada bagaimana dia mentransfer ilmu pengetahuan, meningkatkan keahlian di sekolah kejuruan, mendorong peserta didik untuk menguasai pengetahuan umum di sekolah umum, tapi yang lebih penting adalah bagaimana guru bisa masuk melakukan proses pengawalan, pendampingan, proses pengasuhan.
Ā 
"Karena tentu ini akan sangat berkorelasi positif terhadap perkembangan psikologis remaja. Masa pertumbuhan remaja ini akan sangat menentukan bagaimana perwajahan mereka di masa yang akan datang," ucap pria asal Ciamis itu.
Ā 
Tingkat keberhasilan mungkin trennya akan semakin naik, lanjut Asep. Hal ini terlihat dari angka partisipasi kasar peserta didik semakin besar. Menurutnya, sudah sangat jarang anak-anak seusia SMP, SMA yang sudah tidak lagi bersekolah di seluruh plosok Indonesia.
Ā 
"Artinya, akses untuk mendapatkan pendidikan, akses untuk bisa bersekolah sekarang relatif semakin besar. Itu kita pandang sebagai sebuah keberhasilan secara institusional," ucapnya.
Ā 
Akan tetapi, IPNU masih miris melihat kejadian beberapa waktu lalu tentang hilangnya rasa penghormatan murid terhadap gurunya. Hal ini diekspresikan olehnya dengan berbagai tindakan dan perillaku yang tidak patut dicontoh oleh peserta didik yang lain.
Ā 
"Sangat disayangkan. Kita tidak ingin kejadian serupa terulang kembali, misalkan kejadian guru budi. Kita tidak ingin hal itu terulang kembali," katanya.
Ā 
Hal tersebut juga harus menjadi perhatian serius IPNU. Ia kembali menegaskan bahwa pendidikan tidak sebatas transfer ilmu dan fasilitas pendidikan yang terpenuhi.
Ā 
"Yang lebih penting adalah bagaimana pemerintah membuat sebuah regulasi yang bisa memungkinkan seluruh guru, seluruh tenagaĀ  kependidikan untuk mereka terlibat secara intensif dalam proses pendampingan, proses pengasuhan, dan konseling," katanya.
Ā 
Beban administrasi yang cukup berat, seperti sekian jam dalam seminggu dan laporan berkala membuat guru tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengasuh anak didiknya.
Ā 
Hal ini berbeda dengan pendidikan di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU). Asep menjelaskan bahwa pendidikan pesantren atau sekolah berbasis pesantren yang berafiliasi dengan NU memberikan efektifitas dalam proses pendampingan dan pengasuhan. Hal ini disebabkan antara guru atau pengasuh memiliki waktu yang lebih banyak dalam membimbing peserta didiknya di luar jam belajar yang ditentukan oleh kurikulum.
Ā 
Jika ingin mengadopsi sistem pendidikan pesantren, kembali kepada kesiapan lembaga pendidikan itu sendiri. Sejauh mana respons orang tua siswa dan tahapan berikut yang akan dilaluinya.
Ā 
"Tapi kalau pemerintah menyeragamkan seluruhnya harus full day school juga kurang pas," katanya.
Ā 
Sekolah tidak hanya terdiri dari kepala dan para wakilnya saja, tetapi juga ada komite. Perangkat terakhir ini, kata Asep, juga punya kontribusi untuk menyusun langkah dan program strategis ke depannya.
Ā 
Harapan
Ā 
Pemerintah harus lebih fokus menyajikan regulasi yang betul-betul berpihak terhadap peserta didik. Jangan membingkai padu satu kebutuhan, misal untukĀ  memenuhi dunia industri, permintaan tenaga kerja dalam bidang tertentu.
Ā 
"Itu salah," katanya.
Ā 
Hal yang mesti dilakukan, menurut Asep, mencetak generasi unggul yang shalih, berakhlakul karimah, memiliki keterampilan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini bisa dicapai dengan menciptakan regulasi yang bisa menjadi pedoman operasional dari setiap satuan lembaga pendidikan di berbagai tingkat.
Ā 
"Regulasi itu memberikan nilai otonom agar mereka memiliki satu kesempatan untuk mengembangkan pola pengajaran, pola pengasuhan, pola pendampingan sesuai dengan lokalitas atau kearifan lokal setempat," pungkasnya. (Syakir NF/Ibnu Nawawi)