Nasional

Inilah Tafsir Al-Qur’an Karya Ulama-ulama Nusantara

Sabtu, 22 Juli 2017 | 13:20 WIB

Jakarta, NU Online
Pesantren dikenal kental dengan fiqh dan tasawuf. Padahal, menurut Islah Gusmian, saat mengisi kajian di Islam Nusantara Center, Jumat (21/7/2017), ada banyak karya kiai pesantren di bidang tafsir.

“Ada banyak varian yang ditulis para ulama di pesantren itu di bidang tafsir,” ujarnya saat membuka kajian.

Kitab Tarjuman al-Mustafid merupakan kitab tafsir Al-Qur’an 30 juz pertama di Nusantara. Tetapi jika dilihat dari praktik penafsiran, kitab tersebut bukan kitab tafsir pertama. Sebab sebelumnya telah ada beberapa tafsiran meskipun tidak secara menyeluruh, seperti dalam bait-bait syairnya Hamzah Fansuri.

“Kajian tafsir tidak hanya terjadi pada konteks kitab tafsir, tapi juga pada praktik penafsiran,” katanya.

Dosen tafsir Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta itu mengemukakan bagaimana ulama pesantren menulis tafsir Al-Qur’an. Ada yang menulis dengan berbahasa Arab.

Ia mencontohkan Tafsir al-Asrar karya H Habibuddin Arifuddin abad 18, Tafsir al-Muawwidzatain karya KH Ahmad Yaasin Asymuni, Attibyanyang ditulis di Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambak Beras, yang digunakan untuk praktik belajar mengajar, Jami’ al-Bayan karya Kiai Muhammad bin Salman Solo, dan Tafsir Madrasi yang sampai saat ini masih digunakan di Pondok Pesantren Gontor.

Penulis buku Khazanah Tafsir Indonesia itu juga mengatakan bahwa ada banyak tafsir Al-Qur’an yang ditulis dengan bahasa daerah, seperti karya orang Madura, Al-Qur’an al-Karim Nurul Huda dalam bahasa Madura ditulis oleh politisi dan aktivis NU Mudhar Tamim. Ada pula yang berbahasa Sunda bahkan dengan bentuk danding, seperti mocopat kalau di Jawa, karya Kiai Hasan Mustofa.

Dalam konteks aksara, Islah Gusmian menjabarkan, bahwa ada yang ditulis dengan aksara Jawi. “Dalam konteks aksara, misalnya. Tarjuman al-Mustafid ditulis dengan aksara Jawi. Ada juga Nurul Ihsan,” ujarnya.

“Pada era itu, aksara Jawi menjadi sarana ulama untuk menulis tafsir,” lanjutnya.

Ada juga yang ditulis dengan menggunakan aksara Lontara, seperti Tafsir al-Munir karya Gurutta Ismail. Ada pula tafsir berkasara Jawa Honocoroko, seperti Serat Fatekah dan Tafsir Jawen.

Selain itu, tentu lebih banyak lagi karya yang beraksara Pegon. Islah mengatakan, “Ada juga pegon. Ini sangat kaya sekali.”

Alumni Pesantren Kajen itu menyebutkan beberapa kitab tafsir karya para kiai yang beraksara pegon tersebut, seperti Al-Ibriz karya KH Bisri Mustofa, Al-Iklil dan Taj al-Muslimin  karya KH Misbah Mustofa, Raudhatul Irfan yang ditulis oleh KH Ahmad Sanusi dari Sukabumi dua jilid lengkap 30 juz, Faidl al-Rahman yang ditulis Mbah Soleh Darat, Tafsir al-Mahalli karya Mbah Mujab Mahalli Jogja, Tafsir Anom karya Anom, murid Mbah Soleh Darat, dan tafsir yang ditulis oleh Perkumpulan ulama Mardikintoko di Solo.

Sebelum sesi tanya jawab, alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu menyimpulkan, bahwa pada dasarnya, praktik penafsiran yang dilakukan oleh ulama Nusantara, khususnya kiai-kiai pesantren, itu sangat beragam atau dinamis.

“Sangat dinamis sebetulnya cara ulama menulis tafsir di Nusantara ini, bahkan ada yang danding itu” ujarnya. (Syakirnf/Abdullah Alawi)