Ikuti Malam Penggalangan Dana untuk Petani Urutsewu
NU Online · Jumat, 4 April 2014 | 21:00 WIB
Solidaritas Budaya untuk Masyarakat Urutsewu (Esbumus) adalah aliansi petani, seniman, mahasiswa, aktivis sosial, dan intelektual. Esbumus bertujuan menegakkan kedaulatan petani Urutsewu yang akan divisualisasikan dalam bentuk Arak-Arakan Budaya pada 16 April 2014 di Urutsewu, Kebumen.
<>
Arak-arakan itu sebagai peringatan terhadap tragedi penembakan petani oleh militer tiga tahun yang lalu, sekaligus untuk menggalakkan semangat perlawanan terhadap proses pemagaran sepihak tanah-tanah pertanian oleh TNI AD yang sedang berlangsung sekarang.
Sejauh ini, Esbumus sudah melakukan empat kali acara penggalangan dana di Yogyakarta. Di Urutsewu, Esbumus sudah melaksanakan diskusi konsep serta praktik kesenian massal antara seniman dan masyarakat petani di Urutsewu.
Untuk melancarkan acara pada 16 April 2014, kami akan mengadakan malam penggalangan dana pada:
Hari/Tanggal : Minggu/5 April 2014
Tempat : Alun Alun Kidul Yogyakarta
Waktu : 20.00 – selesai WIB
Acara :
1. Musik Rampak
2. Puisi oleh Yasir
3. Tari Toraja
4. Teaterikal “Semangka dan Kepala Serdadu”
5. Puisi oleh Hasan
6. Silat Muangthai
7. Puisi oleh Arjun
8. Tari Cakalele
9. Tari Soya Soya
10. Permainan Toki Gaba-Gaba
11. Permainan Bambu Gila
12. Permainan Perisaian
13. Tari Poco Poco
14. Puisi oleh Yono
15. Pembacaan Sikap Seniman Merdeka
Rilis media ini adalah undangan untuk Anda semua agar hadir di acara malam penggalangan dana ini, atau menyumbang melalui bank atas nama “Muhammad Imam Abdul Azis, BANK BRI, No.: 002901074298502.”
Konflik di wilayah Urutsewu, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah (Jateng) telah berlangsung sejak 1920, tanpa memeroleh perhatian masyarakat luas. Pada 1932 pemerintah kolonial Belanda mengadakan klangsiran tanah yang membagi tanah berdasarkan nilai ekonomisnya, dengan tujuan akhir mengenakan pajak terhadap tanah warga. Penjajah Belanda mengklaim tanah milik masyarakat ± 150—200 m dari garis pantai. Sejak itulah kenyamanan penduduk Urutsewu mulai terusik dan perlawanan mulai muncul.
Pada zaman pendudukan Jepang, area ini dipakai sebagai lokasi latihan militer Jepang. Sesudah Indonesia merdeka, masyarakat Urutsewu kembali bisa memiliki tanah mereka. Namun sesudah pembantaian kaum komunis dan para pendukung Soekarno oleh Rezim birokratik-militeristik otoriter Orde Baru, tanah mereka kembali dirampas oleh rezim dengan dalih sebagai tempat latihan menembak.
Sesudah reformasi 1998, pihak militer mulai mengklaim pesisir Urutsewu sepanjang 22,5 km dan selebar 500 meter dari bibir pantai sebagai milik mereka. Faktanya, menurut Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jawa Tengah, tidak ada tanah milik Hankam atau TNI di Urutsewu.
Klaim ini makin menjadi-jadi setelah pada 2007, klaim tanah TNI bukan lagi 500 meter dari bibir pantai, tapi “1000 meter!” Pelebaran/perluasan klaim tersebut memicu perlawanan keras dari masyarakat dalam bentuk pencabutan pathok “radius 1000 m”, dan pasca pencabutan muncul ancaman dari Panglima Kodam IV Diponegoro.
Aksi perampasan tanah oleh Kodam Diponegoro ini rupanya dilatarbelakangi oleh keinginan mereka untuk mendapatkan ganti rugi tanah dalam pembangunan Jalan Lintas Selatan dan eksplorasi tambang pasir besi.
Puncak dari tindakan sepihak ini adalah terjadinya peristiwa penembakan warga Urutsewu oleh pihak TNI pada 16 April 2011. Akibat peristiwa ini, 6 petani dikriminalisasi, 13 orang luka-luka (6 di antaranya terkena peluru karet tentara), 12 sepeda motor dirusak, serta handphone, handycam, dan data digital dirampak paksa.
Sejak itu eskalasi konflik di Urutsewu terus naik. Para petani yang dirampas tanahnya dilanda ketakutan untuk menuntut haknya. Rasa aman dan bayangan masa depan cerah lenyap. Justru ancaman kekerasan terus-menerus membayangi kehidupan sehari-hari mereka.
Pada akhir 2013 sampai sekarang (Maret 2014), TNI AD melakukan pemagaran sepihak terhadap tanah yang dipakai petani Urutsewu.
Dari rentetan peristiwa yang terjadi di Urutsewu, dapat disebutkan bahwa telah terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Urutsewu dalam berbagai bentuk. Pertama, pelanggaran atas hak atas kepastian hukum tentang status tanah, peruntukan, dan penguasaannya. Kedua, adanya pelanggaran HAM terhadap hak warga berupa hak atas rasa aman, hak untuk bebas dari ketakutan, serta hak untuk bebas dari perlakuan yang kejam dan tidak manusiawi.
Jadi, kami menuntut:
1]Jadikan Urutsewu sebagai kawasan pertanian dan pariwisata
2]Tegakkan kedaulatan petani Urutsewu
3]Hentikan pemagaran tanah warga
4]Usut tuntas penembakan 16 April 2011
5]Gubernur Ganjar Pranowo agar hadir pada peringatan 16 April 2014 pukul 12.00 WIB, sebagai bukti kepedulian terhadap ketidakadilan yang terjadi.
Melalui rilis ini kami mengundang semua kelompok untuk hadir, baik sebagai penikmat, juga penampil.
Aliansi:
Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan (FPPKS), Urutsewu Bersatu (USB), Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumberdaya Alam (FNKSDA), Sanggar Rupa Seni Rangka Tulang, Teater 42, Sanggar Nusantara, Mantra Merah Putih, Yayasan Desantara, Etnohistori, Komunitas Wayang Sampah Sanggar Lereng Kendeng, Gerakan Literasi Indonesia, Teater GERAK STAINU Kebumen.
Kontak: Angga Palsewa Putra (+6285799020167) dan Sunu Chavez (+6281225619086). (Red: Abdullah Alawi)
Terpopuler
1
Saat Jamaah Haji Mengambil Inisiatif Berjalan Kaki dari Muzdalifah ke Mina
2
Perempuan Hamil di Luar Nikah menurut Empat Mazhab
3
Pandu Ma’arif NU Agendakan Kemah Internasional di Malang, Usung Tema Kemanusiaan dan Perdamaian
4
360 Kurban, 360 Berhala: Riwayat Gelap di Balik Idul Adha
5
Saat Katib Aam PBNU Pimpin Khotbah Wukuf di Arafah
6
Belasan Tahun Jadi Petugas Pemotongan Hewan Kurban, Riyadi Bagikan Tips Hadapi Sapi Galak
Terkini
Lihat Semua