Nasional

Hubungan NU, Kiai dan Kitab Kuning Tidak Bisa Dipisahkan

Sen, 28 Maret 2016 | 11:00 WIB

Jakarta, NU Online
Jamiyyah Nahdlatul Ulama merupakan organisasi yang didirikan oleh ulama pondok pesantren di Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1344 H bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926. Oleh karena sejak awal NU didirikan oleh ulama pondok pesantren, maka organisasi terbesar di dunia yang bergerak dalam bidang keagamaan, pendidikan dan sosial ini hingga kapan pun sama sekali tidak bisa dipisahkan dari para kiai atau ulama dan para santri pondok pesantren. 

Memisahkan peran para kiai dan santri dari tubuh NU sama dengan membunuh NU karena mencabut roh dari tubuhnya, dan sama dengan memisahkan mereka dari kitab-kitab kuning, yakni referensi primer ilmiah keagamaan di dunia pondok pesantren. 

Demikian pernyataan Rais Syuriyah PBNU KH Ahmad Ishomuddin yang akrab dipanggil Gus Ishom saat menjelaskan tentang hubungan antara NU, Kiai dan Kitab Kuning, Ahad (27/03).

Ulama muda ini menduga kuat, bahwa dipilihnya nama Nahdlatul Ulama yang berbahasa Arab - yang dalam Bahasa Indonesia berarti "Kebangkitan Ulama"- juga diambil dari kitab kuning yang sangat populer di dunia pesantren. 

Kata "Nahdlah" menurutnya sangat mungkin diilhami oleh satu bait syair ke 435 dalam kitab Alfiyyah Ibnu Mālik dalam Bab A'māl Ism al-Fā'il.

"Selain itu kata nahdlah juga mungkin diilhami oleh kata bijak dari al-Syaikh 'Abd al-Karīm Ibn 'Athaillah al-Sakandari dalam kitab Ilmu Tashawuf terkenal, al-Hikam yang bermakna Janganlah kau pergauli orang yang hāl (suasana hati)-nya tidak membangkitkan-mu dan ucapannya pun tidak menunjukkanmu kepada Allah," jelasnya.

Sehingga menurutnya nasihat Ibnu Athaillah tersebut patut dijadikan pedoman, bahwa pada hakikatnya berorganisasi di lingkungan NU hanya bermanfaat jika teman-teman sepergaulan mampu menciptakan suasana batin dan perkataan yang membangkitkan semangat untuk meraih cita-cita tertinggi, yakni selalu dekat dengan Allah SWT.

Dan hal tersebut tutur Kiai kelahiran Pringsewu Lampung ini, akan menciptakan perilaku anggota yang ada didalamnya untuk senantiasa sejalan dengan aturan agama, tidak kurang dan tidak pula berlebihan. Dan pada akhirnya Hadits Nabi yang berarti "Sebaik baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk manusia lainnya" akan benar benar menjadi kenyataan. (Muhammad Faizin/Fathoni)