Nasional MENYAMBUT HARI GURU NASIONAL 2018

Hida, Potret Guru Madrasah Pembela Anak Berkebutuhan Khusus

Rab, 21 November 2018 | 00:41 WIB

Hida, Potret Guru Madrasah Pembela Anak Berkebutuhan Khusus

Hida dan ABK (Foto: istimewa)

Pak guru ini pernah diprotes oleh para wali murid, “Anak gila kok diterima!” Mereka khawatir anak-anak mereka terganggu. Lalu ia balik bertanya kepada para orang tua itu, “Kalau misalnya anak bapak atau ibu ada yang seperti itu, mau disekolahkan ke mana?” Para wali murid itu tidak bisa menjawab.

Pak guru ini kemudian menjelaskan bahwa tidak semua anak berkebutuhan khusus (ABK) harus belajar di Sekolah Luar Biasa (SLB). Banyak anak ABK masih bisa belajar di sekolah atau madrasah umum. Mereka juga butuh bersosialisasi, belajar dari dan dengan anak normal karena mereka kelak akan berbaur dengan masyarakat umum.

Ia adalah Muhammad Niamil Hida. Sejak kecil hidup dalam lingkungan masyarakat dengan kultur santri, tepatnya di Kampung Kranji, Kelurahan Kedungwuni Timur, Kecamatan Kedungwuni, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah.

Masa kecilnya, seperti anak Kranji pada umumnya, banyak dihabiskan Hida dengan bermain bersama teman-temannya berenang di sepanjang aliran Sungai Sengkarang, bermain bola, serta belajar baik di Madrasah Ibtidaiyah pada pagi harinya, maupun Madrasah Diniyah pada malam hari.


Muhammad Niamil Hida. (Foto: istimewa)

Tahun 2009, selepas meraih gelar sarjana ia mengabdikan diri menjadi salah satu pengajar di sekolah almamaternya, Madrasah Ibtidaiyyah (MI) Walisongo Kranji 01, Hida menikmati betul profesi menjadi guru ini.

Berbagai ide kreatif ia ciptakan baik di kelas maupun ketika di luar, agar membuat anak didiknya merasa bahagia dalam belajar. Menurutnya proses pembelajaran harus dilakukan dengan menyenangkan dan semenarik mungkin.

Pembelajaran kreatif tersebut terus ia kembangkan, bahkan hingga ia didapuk menjadi Kepala Sekolah MI Kranji 01. Ia memberikan kebebasan kepada wali kelas untuk berkreasi dalam pembelajaran.

“Kita beri guru-guru kepercayaan agar lebih bisa berkembang, juga tak lupa saling berbagi ide antarguru. Di situ kita biasanya dapat berbagai ide hasil tukar pikir dengan guru lain. Kadang kita juga lakukan bedah buku tentang metode pembelajaran, dari situ pula kita dapat ide,” kata Hida.

Sekolah Inklusi

Metode pembelajaran kreatif ini pula yang kemudian menjadi media baginya bersama rekan-rekan guru di MI Kranji 01 dalam menghadapi siswa anak berkebutuhan khusus (ABK). Ya, sejak tahun 2012 sekolah di tempat ia mengajar menerapkan sebuah kebijakan yang banyak mengagetkan para wali murid dan masyarakat sekitar, yakni menerima siswa dari kalangan ABK.

Kebijakan ini pun tak pelak memancing respon dari para wali murid dan masyarakat sekitar. Sebagian besar mereka mempertanyakan, bahkan cenderung mengecam kebijakan yang dinilai cukup ekstrem ini.

“Dulu ada yang kirim SMS begini, ‘Anak gila kok diterima’, ‘Anak saya nanti terganggu dengan hal semacam ini.’ Waktu itu kita sudah jelaskan, sampai akhirnya kita lontarkan balik pertanyaannya, kalau anak bapak yang seperti itu (berkebutuhan khusus,-red), mau disekolahkan ke mana?” tutur Hida.

Namun, penolakan bukanlah akhir dari segalanya. Hida bersama guru lain, tak pernah menyerah untuk menjelaskan arti penting dari kebijakan ini.

“Tidak semua ABK harus belajar di Sekolah Luar Biasa (SLB), karena banyak anak ABK masih bisa belajar di sekolah/madrasah umum, anak berkebutuhan khusus juga butuh bersosialisasi, belajar dari dan dengan anak ‘normal’ karena mereka kelak akan berbaur dengan masyarakat umum,” kata dia.

Ia juga berpedoman dari Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009 tentang pendidikan inklusi, di mana setiap kecamatan harus ada sekolah SD sampai SMP yang menyelenggarakan pendidikan inklusi.

Hal ini juga tertuang pada Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 90 tahun 2013 tentang penyelenggaraan pendidikan madrasah pasal 14, 16 dan 18 dimana dalam pasal tersebut menerangkan bahwa Madrasah (MI sampai MA) wajib menyediakan akses bagi peserta didik yang berkebutuhan khusus.

“Awal kita menerima anak yang belum bisa jalan. Dia masuk kelas 1, sampai sekarang sudah kelas 6, belum bisa jalan, tapi dia punya kelebihan di hafalan,” kenang Hida.

Seiring waktu tantangan penolakan yang mereka hadapi pun sedikit demi sedikit dapat dilalui. Perjuangan mereka pun mulai membuahkan hasil. Sekitar tiga tahun akhirnya, para wali murid dan masyarakat mulai dapat menerima kebijakan ini.

Hingga kini, tercatat ada 19 ABK yang bersekolah di MI Walisongo Kranji 01. ABK yang bersekolah di MI Walisongo Kranji 01 pun beragam, antara lain adalah siswa dengan slow learning, disleksia, hyper active, autis ringan dan lain-lain.

“Kalau ada calon siswa yang bagi kami dirasa terlalu berat, ya kita rekomendasikan untuk ke SLB (Sekolah Luar Biasa). Karena kami tetap menyesuaikan kemampuan yang kami miliki. Sampai saat ini kita ada 10 kelas, kelas 1 sampai 4 masing-masing 2 kelas. Untuk kelas 5 dan 6 masing-masing 1 kelas. Untuk anak berkebutuhan khusus ini kita batasi per kelas 2 hingga 3 orang,” terangnya. 

Tipikal ABK yang berbeda membuat gaya mendidik mereka pun mesti beragam. Salah satunya dengan menerapkan PPI (Program Pembelajaran Individu). Program tersebut membagi kelas menjadi dua, yakni kelas besar dan kelas kecil. Kelas besar yaitu kelas yang diikuti seluruh siswa. Sedangkan di kelas kecil penanganan ABK difokuskan ke arah pembelajaran bukan pelajaran.

“Mereka ada yang hanya mau bermain sendiri, ada yang bisa berbaur, ada yang menyendiri. Kalau yang kayak autis itu dia pelajaran di kelas paling konsentrasi itu 10 menit, setelah itu biasanya keluar. Nah kalau begitu, mereka kita kasih aktivitas yang lain, misalnya menggambar komik kecil-kecil itu, karena mereka sukanya menggambar. Ya kita fasilitasi mereka. Selain itu ada juga klinik baca. Bagi beberapa anak yang punya hambatan dalam membaca, kita fasilitasi di situ secara khusus,” urai Hida.

Dia juga selalu melibatkan para siswa secara keseluruhan. Memantik empati antar-murid menjadi salah satu strategi efektif agar dapat membuat siswa ABK membaur bersama anak-anak lainnya. (Red: Fathoni)