Nasional

Harus Tetap Ada Oposisi Agar Demokrasi Tak Terjebak Sistem 'NPWP'

Sab, 13 Juli 2019 | 08:00 WIB

Harus Tetap Ada Oposisi Agar Demokrasi Tak Terjebak Sistem 'NPWP'

Foto: @setkabgoid

Jakarta, NU Online
Pertemuan Joko Widodo dan Prabowo Subianto merupakan agenda yang paling dinanti oleh bangsa Indonesia yang sudah lelah akibat pertikaian politik yang tak kunjung usai. Stasiun Moda Raya Terpadu (MRT) menjadi saksi bisu momentum rekonsiliasi dua kompetitor Pilpres yang berlangsung begitu keras itu.

Dalam konferensi pers yang berlangsung di Stasiun Senayan, Prabowo menyampaikan ucapan selamat secara langsung kepada pesaingnya yang sudah ditetapkan oleh penyelenggara Pilpres, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU), pada Ahad (30/6) lalu.

Selain mengucapkan selamat, Prabowo mengakui bahwa tugas presiden cukup berat. Karenanya, ia menyampaikan kesiapannya membantu. “Saudara-saudara, menjadi presiden itu adalah mengabdi. Jadi masalah yang beliau pikul berat. Kami siap membantu kalau diperlukan Pak,” katanya.

Hal demikian mengisyaratkan partai yang dipimpinnya itu akan merapat ke koalisi Jokowi. Melihat gelagat itu, Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) H Masduki Baidowi mengungkapkan bahwa politik begitu dinamis sehingga akan terus terjadi perkembangan baru ke depannya.

“Tetap saja catatan saya, demokrasi tetap harus jalan. Harus tetap ada yang beroposisi. Balance harus tetap jalan. Jangan sampai pemerintahan berjalan tidak ada yang beroposisi,” kataya. 

Menurutnya, oposisi yang kuat nan kritis dapat turut serta membangun sistem yang adil dan kesejahteraan bagi masyarakat. “Bahwa demokrasi ke depan itu penting untuk oposisi yang kuat, yang kritis, karena sebagaimana kita ketahui yang terpenting bukan prosedural politiknya yang sudah selesai, tapi bagaimana membangun sistem masyarakat adil dan sistem ekonomi menyejahterakan masyarakat itu bisa terjadi karena oposisi yang kritis,” katanya.

Jangan Terjebak Demokrasi NPWP
Dengan hadirnya oposisi yang kritis itu, pemerintah tidak berjalan dengan semena-mena karena dapat membantu rakyat dalam menagih janji kampanye pemerintah yang terpilih. “Sehingga pemerintah tidak berjalan dengan semena-mena. Oposisi menolong rakyat menagih janji,” imbuhnya.

Cak Duki, begitu ia akrab disapa, juga mengungkapkan bahwa demokrasi harus betul-betul diikhtiarkan untuk menyejahterakan rakyat mengingat oposisi yang bertindak seperti cermin. “Karena oposisi yang terus memantau seperti cermin di mana kesalahan harus segera dikoreksi sehingga rakyat betul-betul merasakan nikmatnya demokrasi,” ungkapnya.

Ia menegaskan bahwa demokrasi Indonesia harus berjalan dengan baik. Jangan sampai terjebak pada NPWP. “Jangan sampai demokrasi terjebak NPWP, nomor piro wani piro (nomor berapa berani berapa),” katanya. 

Bayaran puluhan ribu atau ratusan ribu demi sebuah suara menjadi tantangan demokrasi ke depan.”Itu tantangan kita semua,” katanya. 

NU, jelasnya, sebagai organisasi besar berupaya untuk membangun demokrasi besar agar mengarah pada apa yang telah menjadi kaidah fiqih, yakni tasharruful imam alar raiyyah manuthun bil mashlahah. Artinya bahwa proses kepemimpinan itu ditentukan dari menyejahterakan rakyat,” jelasnya.

Di samaping itu, Cak Duki juga melihat bahwa pertemuan dua tokoh bangsa itu juga sangat unik dan simbolik mengingat dilakukannya di MRT. “Sebuah simbol yang sangat kuat. Simbol urban kota besar dan metropolitan karena tidak banyak kota besar yang punya MRT. Pertemuan dua tokoh nasional yang barusan bersaing secara ketat, keras, dan tajam lalu bertemu di tempat ikonik. Sangat simbolik, sangat disenangi kalangan muda,” pungkasnya. (Syakir NF/Abdullah Alawi)