Nasional

Hapus PPN Bisnis Hiburan, GP Ansor Aceh Kritik Keras Menkeu

Rab, 26 Agustus 2015 | 02:30 WIB

Jakarta, NU Online
Keputusan Menteri Keuangan, Bambang PS Brodjonegoro terkait penghapusan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen untuk delapan sektor usaha dinilai tidak tepat. Sekretaris Pimpinan Wilayah Gerakan Pemuda (GP) Ansor Aceh, Zulfikar Djamaluddin beranggapan, penghapusan PPN untuk sejumlah sektor usaha hiburan tidak akan memberikan manfaat luas bagi publik. <>Justru sebaliknya menjadi bumerang karena pada akhirnya memberikan akses yang lebih mudah bagi masyarakat untuk menikmati hiburan-hiburan yang tidak patut.

“Kalau kita mau jujur-jujuran ini, usaha-usaha di sektor hiburan itu mayoritasnya bukan dilakoni oleh pengusaha lokal. Pun ada, saya yakin modalnya entah darimana karena operasionalnya tidak kecil. Lagipula, marketnya juga kelas menengah dan ke atas. Nah, siapa yang diuntungkan coba? Harusnya penghapusan PPN dilakukan untuk sektor lainnya seperti kuliner atau usaha-usaha produksi skala kecil dan menengah yang memang digeluti oleh pengusaha lokal dan menjadi andalan produk Indonesia,” ujar Zulfikar, Senin (24/8/2015), dalam siaran pers.

Harus diakui, tambahnya, iklim bisnis di Indonesia sarat dengan beban operasional yang tinggi. Selain adanya kewajiban-kewajiban pajak dan pengurusan berbagai perizinan usaha yang memakan biaya tidak kecil, para pengusaha acap kali berhadapan dengan kutipan-kutipan liar dari oknum-oknum tertentu. Langkah Menteri Keuangan dalam melakukan penghapusan pajak untuk sektor tertentu cukup bagus. Hanya saja disayangkannya, sektor yang dipilih justru tidak menyentuh kepentingan banyak orang, bahkan terkesan merupakan kebijakan yang ‘dibeli’ oleh mafia tertentu untuk memudahkan para pemilik modal.

Zulfikar menilai harusnya sektor kuliner misalnya dapat diberikan kemudahan yang lebih besar baik berupa penghapusan pajak tertentu, maupun kemudahan perizinan, serta jaminan keamanan atas pungutan-pungutan tertentu. “Karena apa? Karena semua orang butuh makan dan banyak sekali pengusaha lokal kita yang bergerak di sektor ini. Tapi karena pajaknya banyak sekali, kutipan juga banyak, akhirnya para pebisnis pemula di sektor kuliner lebih memilih berjualan di kaki lima. Bisnis kuliner lokal jadinya belum terorganisir dengan baik karena paranoida terhadap beban-beban tambahan ini,” tutunya.

Di lain hal, penghapusan PPN untuk sektor usaha hiburan dikhawatirkan akan meningkatkan ruang partisipasi publik untuk mendapatkan akses hiburan yang tidak patut. Apalagi selama ini, sektor hiburan di Indonesia sarat dengan praktek peredaran Narkoba dan kriminalitas-kriminalitas lainnya. Bila saja selama ini sektor hiburan hanya diakses oleh masyarakat dengan ekonomi menengah dan ke atas, maka nantinya diprediksi oleh Zulfikar, anak-anak muda dengan ekonomi rendah juga menginginkan hal yang sama.

“Harusnya anak-anak muda dengan ekonomi rendah itu melakukan efisiensi sehingga perencanaan kehidupannya bisa lebih baik, namun dengan biaya yang lebih rendah karena penghapusan pajak, maka mereka akan berlomba-lomba untuk berfoya-foya. Tentu ini bukan output revolusi mental yang diinginkan oleh Presiden Jokowi. Benar ni, Pak Bambang Brodjonegoro salah minum obat,” tukasnya.

Di satu sisi Zulfikar menilai, hiburan merupakan salah satu kebutuhan tambahan yang harus diperoleh manusia untuk menciptakan harmonisasi mental dan karakter. Tapi tidak semua hiburan layak dinikmati oleh setiap orang. Karena itu, harusnya pemerintah melakukan filter dengan memberikan beban yang lebih besar untuk bisnis hiburan tertentu sehingga masyarakat tidak mudah untuk mendapatkan akses tersebut.

“Jadi, atas nama pemuda Indonesia, kami menuntut pak menteri mencabut keputusan ini. Jangan membuat keputusan yang sifatnya hanya populer, tapi tidak memperhatikan untung dan ruginya. Ini tidak benar,” tutup Zulfikar. (Mahbib)