Halal bihalal adalah merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai Islam Nusantara. Selain menebar pesan perdamaian yang disimbolkan dalam bentuk silaturahim dan maaf-memaafkan, tradisi halal bihalal hanya dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Hal tersebut diungkapklan Ketua Pengurus Cabang NU (PCNU) Jember KH Abdullah Syamsul Arifin saat memberikan taushiyah dalam acara hahal bihalal PCNU Jember di rumah salah seorang tokoh NU, H Babun Suharto, Kamis malam (14/7).
Menurutnya, kata-kata yang mendefinisikan halal bihalal tidak ada dalam kamus bahasa Arab. Halal bihalal justru ditemukan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. “Halal bihalal itu adalah kegiatan saremonial yang dilaksanankan setelah Lebaran, yang intinya adalah saling memaafkan. Jadi ini murni tradisi Indonesia,” paparnya.
Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Jember itu menambahkan, secara fitrah, manusia adalah jenis makhluk yang suka keharmonisan, kedamaian, bergaul dan bermasyarakat. Namun dalam dinamika kehidupan, karena sesuatu dan lain hal, tak jarang manusia keluar dari fitrahnya. Misalnya menyakiti orang lain, berbuat onar, mengingkari kesepakatan yang telah dibuat. “Jadi kenapa butuh halal bihalal, ya karena manusia sering keluar dari fitrahnya. Maka butuh saling memaafkan,” jelas Gus A’ab, sapaan akrabnya.
Pengasuh Pesantren Darul Arifin, Desa Curah Kalong, Bangsalsari itu menegaskan, sebagai makhluk sosial, manusia pasti membutuhkan orang lain dalam mengarungi kehidupan. Pasti. Jangankan untuk hal-hal yang besar, katanya, untuk makan saja manusia tidak bisa melakukannya sendirian. Ia lalu menguraikan, agar nasi sampai di meja makan saja, prosesnya cukup panjang. Dimulai dengan kegiatan petani membajak sawah, lalu menamam padi, merawat dan mengairinya hingga padi menguning. Lalu padi dipanen, kemudian diselep, dimasak dan seterusnya.
“Coba, untuk urusan makan saja, manusia sudah melibatkan begitu banyak orang lain. Makanya manusia tidak perlu sombong,” urainya.
Sementara itu, ketua panitia halal bihalal, Hobri Ali Wafa dalam sambutan singkatnya menyinggung soal adanya kelompok tertentu yang mempertanyakan “keabsahan” halal bihalal. Menurutnya, kelompok tersebut setengah menertawakan kegiatan halal bihalal yang banyak digelar warga NU. Sebab, katanya, kelompok tersebut berpendapat bahwa saling memaafkan itu bisa dilakukan kapan saja. “Lho kalau seperti itu. Logikanya kan bisa dibalik; bahwa lebaran bisa dilakukan kapanpun, termasuk dalam hal bihalal. Lalu kenapa halal bihalal disoal,” tuturnya.
Dalam halal bihalal tersebut, Sekretaris PCNU Jember, Pujiono Abdul Hamid, dan sejumlah tokoh dan ketua Banom NU Cabang Jember, juga hadir bersama istri. (Aryudi A. Razaq/Mahbib)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Mempertahankan Spirit Kurban dan Haji Pasca-Idul Adha
2
Ketum PBNU Buka Suara soal Polemik Tambang di Raja Ampat, Singgung Keterlibatan Gus Fahrur
3
Jamaah Haji yang Sakit Boleh Ajukan Pulang Lebih Awal ke Tanah Air
4
Rais 'Aam dan Ketua Umum PBNU Akan Lantik JATMAN masa khidmah 2025-2030
5
Khutbah Jumat: Meningkatkan Kualitas Ibadah Harian di Tengah Kesibukan
6
Khutbah Jumat: Menyatukan Hati, Membangun Kerukunan Keluarga Menuju Hidup Bahagia
Terkini
Lihat Semua