Nasional

Habib Luthfi: Mencintai Bangsa Wujud Pengamalan Hakikat

Ahad, 3 Oktober 2021 | 03:00 WIB

Habib Luthfi: Mencintai Bangsa Wujud Pengamalan Hakikat

Habib Luthfi bin Yahya. (Foto: NU Online)

Jakarta, NU Online

Rais ‘Aam Idarah ‘Aliyah Jam’iyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah (JATMAN) Habib Luthfi bin Yahya menyampaikan bahwa jika seseorang telah mengamalkan hakikat, bukan sebatas syariat, maka akan tumbuh rasa cinta terhadap bangsa sendiri.


Hal ini dikatakan oleh Habib Luthfi saat menjelaskan kitab Jamî’ul Ushûl fil Auliyâ’ karya Syekh Dhiya’uddin al-Kamasykhinawi an-Naqsyabandi untuk mengisi acara Rutinan Jumat Kliwon Kanzus Shalawat Kota Pekalongan, Jawa Tengah, pada Jumat (1/10/2021).


“Orang yang mengamalkan hakikat, akan mencintai Indonesia. Kita cintai segala apa yang ada dimiliki bangsa, termasuk tanah kering dan sebutir debu di dalamnya,” kata Habib Luthfi.


Pada kesempatan itu, Habib Luthfi menjelaskan hubungan syariat dengan hakikat. Menurutnya, hidup dengan bersyariat saja belum cukup, tetapi harus disertai hakikat. Peran syariat adalah untuk menaati peraturan, sedangkan hakikat untuk membimbing peraturan itu sendiri.


Habib Lutfi mencontohkan orang yang berwudhu. Wudhu dalam diskursus syariat hanya sebatas ritual ibadah. Tetapi jika dipahami secara hakikat, maka akan mengantarkan seseorang pada nilai yang lebih tinggi. Dalam kacamata syariat, jika seseorang berwudhu untuk melaksanakan shalat, begitu selesai shalat, maka wudhunya terserah mau dibatalkan atau tidak. 


“Tapi dalam kacamata hakikat, seseorang akan berpikir, apakah ibadah yang baru saja dilakukannya dapat lebih mengenalkan dirinya kepada Allah atau tidak,” jelas Anggota Dewan Pertimbangan Presiden ini. 


Dalam kehidupan sehari-hari, ulama asal Pekalongan itu mencontohkan perihal aktivitas makan. Dalam pengamalan syariat, umumnya orang makan akan diawali dengan membaca basmalah dan diakhiri dengan hamdalah serta membaca doa: Allâhumma bârik lanâ fîmâ razaqtanâ wa qinâ ‘adzâbannâr (Ya Allah berkahilah kami pada apa yang telah Engkau berikan, dan jauhkanlah kami dari siksa neraka). 


“Secara hakikat, dalam doa makan itu kita tidak hanya mendoakan diri sendiri, tetapi juga orang banyak, karena menggunakan bentuk plural (bârik lanâ),” papar Habib Luthfi.


Semua orang yang terlibat dalam proses pembuatan nasi yang kita makan, lanjut Habib Luthfi, seperti orang yang menanam padi, orang yang mencangkul sawah, orang yang membajak sawah, orang yang menanak nasinya, dan lain sebagainya, semuanya masuk dalam doa tersebut.


Dengan demikian, aktivitas makan bukan saja untuk menghilangkan rasa lapar, tetapi juga akan membawa kita lebih kenal dengan Allah.


“Jika sudah bisa lebih kenal dengan Allah, maka akan tumbuh rasa cinta. Termasuk mencintai bangsa sendiri,” pungkas Habib Luthfi.


Kontributor: Muhamad Abror

Editor: Fathoni Ahmad