Gus Muwafiq: Tidak Ada Lagi Kata Kafir di Indonesia
NU Online · Kamis, 22 November 2018 | 05:15 WIB
KH Ahmad Muwafiq didaulat memberikan mauidzah hasanah pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang dihadiri Presiden Joko Widodo di Istana Bogor, Rabu (21/11). Pada acara yang dilaksanakan di ruang utama Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Gus Muwafiq memaparkan dengan detail peran penting para nabi, termasuk Muhammad SAW, dalam menyebarkan risalah Allah, ajaran Islam di muka bumi ini.
“Kita di sini untuk bersama-sama berkumpul memperingati kelahiran nabi kita Nabi Besar Muhammad SAW sebagai sebuah upaya untuk mengingat bahwa Alhamdulillah kita ini menjadi manusia yang bisa menemukan Seorang nabi. Kita ini di negeri yang sangat jauh dari Arab, masih menemukan seorang nabi,” kata kiai nyentrik berambut gondrong ini.
Jangkauan Nabi Muhammad dalam menyiarkan agama Islam bukan lagi pada tahap keluarga, suku, dan satu bangsa. Nabi Muhammad memiliki jangkauan menjadi nabi untuk menjadi Rahmatan lil Alamin.
“Ini perbedaan para nabi dengan Nabi Muhammad. Nabi Muhammad menjadi nabi ketika manusia sudah menjadi bangsa-bangsa, menjadi suku-suku dan itu harus dijangkau semuanya. Makanya dari situlah Nabi Muhammad dilahirkan di Kota Makkah. Makkah adalah awal-awal di mana manusia mengenal Allah SWT,” jelasnya
Setelah berjalannya waktu, akhirnya ajaran Islam itu masuk ke Nusantara. Saat masuk ke Indonesia, Gus Muwafiq menyebut terjadi akulturasi dalam hal budaya. Diantaranya beberapa ejaan bahasa Arab yang sedikit mengalami modifikasi tapi tidak berubah secara makna.
"Orang kalau tahu modifikasi Quran pasti tahu, masuk ke setiap negara pasti berbeda. Al-Fatihah menjadi Alpatekah. Ya hayyu ya qayyum jadi Ya kayuku ya kayumu. Rabbil 'alamin karena nggak punya huruf ain, punyanya ngo keluarnya Robbil ngalamin. Nggak punya dhod, punyanya lo, maka Ramadan keluarnya Romlan," tutur Gus Muwafiq seraya menegaskan bahwa Islam berkembang keseluruh negara dan berbeda-beda dalam penerimaannya.
Gus Muwafiq juga menegaskan bahwa keragaman yang ada di Nusantara ini merupakan kekayaan yang harus dipertahankan. Hanya di Indonesia sebuah negara yang mampu memikul puluhan bangsa.
“Makanya harus disatukan. Tidak ada lagi raja dan hamba. Yang ada rakyat. Tidak boleh lagi menyebut kafir. Kenapa? karena kafir adalah orang yang menentang Allah dan memusuhi kaum muslimin. Kalau sudah hidup bersama namanya dzimmi. Kalau sudah saling bertanggung jawab namanya raiyyah (rakyat).,” tegasnya.
Maka menurutnya ketika para ulama sudah menyebut kita dengan sebutan rakyat yang tertuang dalam UUD 1945, jangan lagi di turunkan derajat rakyat menjadi derajat kafir. Makanya tidak ada lagi kata kafir di Indonesia karena sudah menjadi raiyyah atau rakyat.
“Dimana negara dengan konsep dasar keagamaan Islam yang mampu membangun sebuah struktur negara hari ini? itu ada di Indonesia. Maka jangan kau sebut negeri ini negeri taghut. Maka insya Allah kita akhirnya Alhamdulillah tahu, kita ternyata pengikut Rasulullah tapi bukan pada pangkat sahabat namun pada pangkat muridnya ulama,” pungkasnya. (Muhammad Faizin)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Mempertahankan Spirit Kurban dan Haji Pasca-Idul Adha
2
Ketum PBNU Buka Suara soal Polemik Tambang di Raja Ampat, Singgung Keterlibatan Gus Fahrur
3
Jamaah Haji yang Sakit Boleh Ajukan Pulang Lebih Awal ke Tanah Air
4
Rais 'Aam dan Ketua Umum PBNU Akan Lantik JATMAN masa khidmah 2025-2030
5
Khutbah Jumat: Meningkatkan Kualitas Ibadah Harian di Tengah Kesibukan
6
Khutbah Jumat: Menyatukan Hati, Membangun Kerukunan Keluarga Menuju Hidup Bahagia
Terkini
Lihat Semua