Sidoarjo, NU Online
Harga cabai terutama cabai rawit masih dikeluhkan masyarakat, karena hingga saat ini masih mahal, jauh dari harga normal. Seperti di Kabupaten Sidoarjo harga cabai rawit rata-rata masih mencapai 130 ribu rupiah per kilogramnya.
Menyikapi hal itu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur bersama Badan Usaha Logistik (Bulog) divisi regional Jawa Timur, sudah melakukan operasi pasar cabai murah di sejumlah kota dan kabupaten sejak pekan lalu.Â
Namun, operasi pasar ini belum mampu menekan kenaikan harga cabai yang saat ini masih menembus angka 130 ribu rupiah per kilo.
"Sementara ini kami berharap masyarakat bisa menggunakan cabai yang ditanam sendiri atau yang olahan itu. Karena memang cuaca dan pasokannya kurang. Kita sudah berusaha mendatangkan pasokan dari provinsi lain, tapi memang sangat berkurang," kata Wakil Gubernur Jawa Timur, H Saifullah Yusuf disela-sela acara dzikir akbar di Masjid Agung Sidoarjo, Ahad (12/2).Â
Operasi pasar tidak bisa menekan harga karena jumlah cabai yang dijual, tidak sebanding dengan kebutuhan cabai masyarakat. Pemprov dan Bulog Jatim juga kesulitan mendapatkan, stok cabai dari para petani dalam jumlah besar.
Wakil Gubernur Jawa Timur, H Saifullah Yusuf berharap, akan ada panen cabai dari sentra produksi pada bulan Januari ini. "Stoknya yang belum ada, harapan kami Januari dan Februari ini sudah ada panen 7 hektar atau 15 hektar, itu sangat menolong pasokan yang ada," tegas pria yang akrap disapa Gus Ipul itu.
Ketua PBNU itu juga menyayangkan pemerintah pusat yang tidak segera melakukan impor, pada saat stok cabai lokal anjlok drastis dan harganya meroket. Gus Ipul juga mengimbau ibu-ibu untuk berinisiatif mulai menanam cabai sendiri di rumah.
"Kelangkaan ini masih bisa diatasi, meskipun kenaikannya disamping memberatkan masyarakat dan mempunyai pengaruh inflasi. Kita lagi usaha terus, kita sebenarnya mencukupi, di beberapa tempat ada yang masih 120 ribu, 130 ribu, tapi intinya kita melakukan operasi pasar dan dan memperbanyak stok, membangun kesadaran masyarakat," pungkasnya. (Moh Kholidun/Fathoni)