Gus Dur dan Wawasan Bahasa Masa Lalu
NU Online · Ahad, 8 Januari 2017 | 20:02 WIB
Solo, NU Online
Muchus Budi Rahayu masih mengingat percakapannya dengan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada Oktober 2001 silam. Muchus yang berprofesi sebagai wartawan, ketika itu meliput Gus Dur yang sering bersilaturahmi ke daerah-daerah pasca-pelengseran dirinya sebagai presiden.
“Waktu itu saya liputan di daerah Dagangan Madiun, sekitar setengah jam, tidak ada yang menemani. Padahal acara masih mulai setelah dhuhur. Kemudian saya mendekat kepada Gus Dur. Saya kalau nyebut Gus Dur, tidak nyebut sebagai Gus. Tapi, yi (kiai,-red),” ungkapnya.
Singkat cerita, lanjut Muchus, percakapannya dengan Gus Dur mengarah pada soal pemberian nama yang hendak diberikan kepada anaknya.
“Saya matur (bilang), bahwa kata dokter, anak pertama kami nanti, kemungkinan adalah laki-laki. Sejak lama, saya punya bayangan jika punya anak laki-laki akan saya beri nama 'banyak' yang artinya angsa, hewan cerdas yang menjadi simbol ilmu pengetahuan,” ungkap Muchus
Gus Dur lalu menanggapi. "Ya kuwi apik (itu bagus). Tapi kamu perlu tahu juga sejarah kata. Dalam bahasa Sansekerta disebut 'hansa' lalu di masa bahasa Jawa kuno disebut 'hangsa'. Lalu ketika bahasa Jawa tengahan ada yang menuliskan 'hangsa', ada pula yang menuliskan 'hamsa',” tutur Muchus, menirukan penjelasan Gus Dur.
“Lha kok di bahasa Jawa baru bisa menjadi 'banyak'," tanya Muchus.
Ini kan kepedhotan obor (terputus mata rantai). Padahal dalam bahasa Melayu yang terpengaruh Jawa kuno dan Jawa tengahan ketika masa Majapahit, sampai sekarang malah lestari disebut 'angsa',” lanjut Gus Dur.
Sebagai informasi, Jawa tengahan ini bukan berarti nama lokasi mengacu kepada Provinsi Jawa Tengah, tetapi era bahasa Jawa masa transisi dari Jawa kuno ke Jawa baru. Fasenya tidak lama, yakni hanya pada masa Majapahit akhir hingga masa menjelang Kerajaan Demak. Bahasa yang pernah digunakan di Jawa antara lain : Sansekerta lalu Jawa kuno, Jawa-tengahan hingga sekarang Jawa baru.
Perhatian Gus Dur
"Kemudian Gus Dur berkata, 'Kita ini sering terputus seperti itu. Ini yang menyebabkan kita enggak maju-maju. Seumpama kita ini lestari dalam hal, sambung-sinambung peradaban, kita akan jauh lebih maju dari sekarang. Anakmu diberi nama 'hamsa' saja ya. Biar dia nanti melacak asal namanya itu. Tugas dia nanti menyambungkan ilmu-ilmu bangsanya dari zaman leluhur sampai sekarang, biar kita ini menjadi bangsa maju'," kenang Muchus.
Menurut Muchus, percakapannya dengan Gus Dur tersebut tidak hanya sebatas nama yang mereka singgung. Bagi dia, Gus Dur merupakan sosok yang memiliki wawasan luas terhadap bahasa.
“Saya kagetnya saat itu, Gus Dur kok ya punya perhatian sebegitu dalam dan luasnya terhadap bahasa Jawa. Ini menunjukkan bahwa beliau memang orang yang sangat peduli dengan bangsanya. Orang yang peduli dan perhatian pasti akan mempelajari semua seluk-beluknya, termasuk soal bahasa yang digunakannya,” kata dia.
“Perhatiannya juga luas. Tidak hanya bahasa Jawa, Arab, Indonesia, Eropa, tetapi juga bahasa 'masa lampau' dan sejarahnya, serta kaitannya dengan bahasa sekarang,” pungkasnya.
(Ajie Najmuddin, Tulisan ini merupakan nukilan dari acara diskusi “Melacak Jejak Gus Dur di Solo”, yang diadakan Gusdurian Solo, 20 Agustus 2016, dengan beberapa penambahan materi. Ditulis secara berseri, untuk menyambut Haul Gus Dur yang ke-7)
Terpopuler
1
PCINU Mesir Gelar PD-PKPNU Angkatan I, Ketua PBNU: Lahirkan Kader Penggerak sebagai Pemimpin Masa Depan
2
Paus Fransiskus, Ia yang Mengurai Simpul Kehidupan dan Menyembuhkan Luka-luka Dunia
3
Cara Cegah Pelecehan Seksual di Institusi Pelayanan Kesehatan
4
Khutbah Nikah: Menjaga Kelanggengan Pernikahan
5
Perkuat Peran Sosial-Ekonomi, Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Banuroja dan LPPNU Gorontalo Gelar Halaqah Pertanian
6
Keteladanan Paus dan Duka Gaza
Terkini
Lihat Semua