Nasional

Gus Baha: Nasib Orang yang Sudah Wafat Tergantung Anak-Cucunya

Sen, 16 November 2020 | 06:30 WIB

Gus Baha: Nasib Orang yang Sudah Wafat Tergantung Anak-Cucunya

Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) saat membedah kitab Adabul Alim Wal Muta'allim karya KH M Hasyim Asy'ari di Tebuireng. (Foto: Istimewa)

Jombang, NU Online
Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) mengatakan nasib seorang yang sudah wafat tergantung anak-cucunya.
 
Hal ini disampaikannya saat membedah kitab Adabul Alim wal Muta'allim karya KH M Hasyim Asy'ari di Pondok Pesantren Tebuireng, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Gus Baha dalam kegiatan tersebut memuji usaha KH Ishom Hadziq, cucu Kiai Hasyim Asy'ari yang keliling ke mana-mana mengumpulkan kitab Mbah Hasyim.
 
"Orang yang sudah meninggal, ia berstatus apa di masyarakat ya tergantung anak cucunya. Ini berbahaya sekali jika cucunya tidak bisa menjaga. Apa lagi jika anak cucunya hubbu dunia," katanya, Ahad (15/11).
 
Menurutnya, banyaknya orang mengkaji pemikiran Kiai Hasyim Asy'ari Tebuireng karena memiliki anak biologis dan ideologis yang hebat. Anak biologis ada KH A Wahid Hasyim, KH Ishom Hadziq dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Sedangkan anak ideologis ada KH Baidhawi, Kiai Sidiq, dan KH Abdul Wahab Chasbullah.
 
"Andai Mbah Hasyim tidak punya putra Gus Wahid, menantu Mbah Maksum, Mbah Muhaimin yang mendirikan madrasah di Makkah dan murid yang hebat maka mungkin tidak banyak lagi orang bahas Mbah Hasyim," imbuh pakar tafsir asal Rembang ini.
 
Gus Baha lalu menceritakan, di Indonesia banyak ulama Ahlussunah wal Jamaah yang setelah wafat tidak dikaji lagi pemikirannya karena anak cucunya mengharamkan haul. Bahayanya, pengharaman itu dianggap pemikiran dari ulama tersebut.
 
Kejadian tersebut menurutnya sama dengan peristiwa Nabi Ibrahim dibela Allah dalam Al-Qur'an surat Ali Imran ayat 67. Di sana, Allah menjelaskan bahwa Ibrahim bukan Yahudi atau Nasrani. Karena sempat ada anggapan bahwa Ibrahim bapaknya orang Yahudi. Di sini, pengaruh anak-cucu yang besar pada tokoh yang sudah wafat.
 
Hal ini bermula ketika Nabi Ibrahim punya anak bernama Ishak. Ishak punya anak namanya Ya'qub, punya anak lagi Yusuf. Ya'qub punya gelar Abu Israel. Dua belas suku dalam Bani Israel didasarkan atas dua belas putra Ya'qub. Saat wafat diberikan bendera Israel di makamnya. 
 
"Ini timbul anggapan seakan Ibrahim pendirinya Yahudi karena punya cucu yang dianggap bapaknya orang Yahudi, identik dengan Israel. Sehingga Allah membela Ibrahim dengan kata Ma Kana Ibrahimu Yahudiyan," beber Gus Baha.
 
Kejadian lainya menurut Gus Baha yaitu fenomena redupnya cahaya keilmuan Imam Laits bin Sa'ad. Nama aslinya Abu Harits Laits bin Sa'ad bin Abdurrahman, seorang ulama, ahli fikih, perawi hadits dan cendekiawan Muslim yang hidup pada kekuasaan Bani Umayyah. 
 
Namun, karena muridnya tidak pandai dan tidak ada dokumentasi karyanya maka lebih terkenal Imam Malik. Ini sangat disayangkan.
 
"Imam Syafi'i pernah mengkritik murid-murid Imam Laits karena muridnya tidak mendokumentasikan karya gurunya. Padahal saat itu Imam Laits dalam ilmu fikih lebih hebat dari Imam Malik, gurunya Imam Syafi'i," tandasnya.
 
Kontributor: Syarif Abdurrahman
Editor: Syamsul Arifin