Grasi Terpidana Mati Narkoba Korbankan Perlindungan Anak
NU Online · Sabtu, 13 Oktober 2012 | 04:33 WIB
Jakarta, NU Oline
Grasi Presiden yg membebaskan hukuman mati bagi bandar narkoba, dari sisi perlindungan anak sangat menyakitkan, tidak memiliki sensitifitas, dan tidak sejalan dengan komitmen moral terhadap perang terhadap kejahatan narkoba yang masuk kategori extra ordinary crime.
<>
Demikian disampaikan oleh Asrorun Niam Sholeh, wakil ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menanggapi diberikannya grasi terhadap anggota trio gembong narkoba sindikat internasional Deni Setia Maharwa alias Rapi Mohammed Majid. Ia lolos dari vonis hukuman mati berkat grasi Presiden SBY. Hukumannya kini penjara seumur hidup.
Ia menegaskan, grasi memang wewenang Presiden yg diberikan konstitusi, pasal 14 UUD 1945. Akan tetapi, dalam menjalankan wewenang, Presiden tidak boleh sewenang-wenang. Presiden terikat oleh ketentuan hukum, baik yang tertulis maupun yang hidup di masyarakat, termasuk sisi rasa keadilan masyarakat.
Dalam menetapkan hukum, di samping mempertimbangan hak terpidana (termasuk pertimbangan kemanusiaan skalipun), tetap harus menjaga sisi keadilan korban dan sisi keadilan masyarakat. “Peran negara harus menjamin terjaminnya keadilan dari ketiga sisi ini. Dalam pemberian grasi, termasuk putusan MA dalam kasus lain yg jg sejenis, pertimbangannya bersifat parsial, menafikan sisi perlindungan terhadap masyarakat, khususnya perlindungan anak,” katanya.
Sebelumnya publik juga dilukai dengan grasi Presiden yang diberikan kepada Corby, "ratu mariyuana" dari Australia yang sangat kental pertimbangan politis, dan terindikasi Presiden takluk pada intervensi politik Australia. Kebijakan yang mengorbankan semangat perlindungan anak, semangat perang total terhadap kejahatan narkoba yang mengancam anak-anak Indonesia, dan menyebabkan punahnya generasi. Setelah takluk pada intervensi politik, kini grasi pada gembong narkoba mengindikasikan bertekuk lutut pada bandar, yang jelas-jelas mengancam anak-anak.
Grasi yang diberikan, dengan alasan "barter" napi WNI yang disampaikan Jubir jelas tidak masuk akal sehat. Barter napi dengan resiko hilangnya efek jera bagi bandar yang menyebabkan bebasnya peredaran narkoba dan akhirnya membunuh jutaan anak generasi. Ini jelas bertentangan dengan UU Narkotika yg keras dan tegas bagi pengedar dan bandar; bertentangan juga dengan akal sehat.
Deni mencoba menyelundupkan narkoba ke London pada 12 Januari 2000 sesaat sebelum berangkat dengan pesawat Cathay Pacific lewat Bandara Soekarno-Hatta. Pada 22 Agustus 2000, Pengadilan Negeri (PN) Tangerang menghukum Deni dengan hukuman mati. Putusan ini dikuatkan hingga putusan kasasi MA yang dijatuhkan pada 18 April 2001. Ironisnya, Presiden atas nama menjalankan wewenang, memberi grasi yg membatalkan hukuman mati.
“Cukup rakyat tersakiti, tercabik2 rasa keadilannya oleh yang seharusnya menjadi tempat merajut asa diperolehnya keadilan... Jika Presiden tunduk dan takluk pada bandar narkoba, kemana bangsa akan dibawa,” imbunya.
Redaktur: Mukafi Niam
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Menguatkan Sisi Kemanusiaan di Bulan Muharram
2
Khutbah Jumat: Mengais Keutamaan Ibadah di Sisa bulan Muharram
3
Khutbah Jumat: Muharram, Bulan Hijrah Menuju Kepedulian Sosial
4
Khutbah Jumat: Muharram, Momentum Memperkuat Persaudaraan Sesama Muslim
5
Khutbah Jumat: Jangan Apatis! Tanggung Jawab Sosial Adalah Ibadah
6
Khutbah Jumat: Berani Keluar Dari Zona Nyaman
Terkini
Lihat Semua