Nasional

Epidemiolog Ungkap Ada Akal-akalan Vaksinasi Covid-19 untuk Tenaga Kesehatan

Rab, 3 Februari 2021 | 13:30 WIB

Epidemiolog Ungkap Ada Akal-akalan Vaksinasi Covid-19 untuk Tenaga Kesehatan

Salah satu hal yang memberatkan adalah soal rekomendasi yang diberikan Indonesia Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI), terkait syarat pemberian vaksin,

Jakarta, NU Online
Program vaksinasi Covid-19 sedang berlangsung. Saat ini vaksin diberikan kepada para tenaga kesehatan hingga akhir Februari 2021, dengan target 1,5 juta orang disuntik vaksin. Namun, Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) dr Syahrizal Syarif, target tersebut sangat sulit tercapai, sehingga di lapangan terjadi akal-akalan vaksinasi.

 

Ia menjelaskan, salah satu hal yang memberatkan adalah soal rekomendasi yang diberikan Indonesia Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI), terkait syarat pemberian vaksin. Syarat tersebut adalah vaksin hanya diberikan kepada orang sehat usia 18-59 tahun. 

 

"Target 1,5 juta tenaga kesehatan divaksin sampai akhir Februari nanti, jelas tidak bisa. Karena syaratnya, mereka yang berusia di atas 59 tahun sekalipun tenaga kesehatan, tidak akan mendapat vaksin," kata Syahrizal kepada NU Online, Selasa (2/2). 

 

"Senior-senior saya yang bekerja di RS Persahabatan, RS Cipto Mangunkusumo, RS Sulianti Suroso itu adalah dokter senior yang punya risiko sangat tinggi terkena Covid-19. Mereka tidak bisa dapatkan karena mereka usianya di atas 59 tahun. Ini jadi hambatan besar," sambungnya. 

 

Padahal, menurut Syahrizal, perusahaan produsen Sinovac sudah menyatakan secara resmi bahwa vaksinnya aman digunakan untuk orang lanjut usia. Namun, Indonesia saat ini belum juga mengoreksi kebijakan yang sebenarnya itu direkomendasikan ITAGI.

 

"WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) sendiri pun tidak merekomendasikan hal itu. Jadi kebijakan soal umur itu adalah kebijakan yang salah," katanya.

 

Syahrizal melanjutkan, hambatan vaksinasi tahap pertama hingga akhir Februari nanti adalah karena banyak tenaga kesehatan yang hipertensi (darah tinggi) sehingga gagal divaksin. 

 

"Tapi yang terjadi di lapangan adalah akal-akalan. Akhirnya diakali minum obat dulu, setengah jam kemudian diperiksa lagi tensinya sudah turun, baru divaksin. Tapi daripada akal-akalan, lebih baik nggak usah sama sekali," kata Syahrizal dengan nada bicara yang tinggi. 

 

Ia menyayangkan rekomendasi ITAGI yang dianggap mengada-ada itu. Sebab pada kenyataannya, Turki dan Brazil sudah memberikan vaksin Sinovac kepada orang-orang lansia dan komorbid. Hal tersebut membuat kedua negara itu berhasil mengendalikan wabah.

 

"Jadi sampai hari ini, Kemenkes belum mengoreksi (kebijakan syarat pemberian vaksin). ITAGI juga harus mengoreksi sebagai pemberi rekomendasi kebijakan vaksin. Tapi ITAGI katanya menunggu hasil bukti ilmiah bahwa Sinovac aman untuk lansia," papar Syahrizal.

 

"Pertanyaan saya, menunggu bukti yang dari mana lagi? Padahal Brazil dan Turki sudah memberikan kepada lansia, official Sinovac sudah menyatakan bahwa vaksinnya aman pada lansia. Jadi saya heran, ITAGI menunggu bukti mana sih? Padahal Indonesia sendiri tidak melakukan penelitian terhadap lansia," lanjutnya, tegas. 

 

Walhasil, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Kesehatan ini tetap mendorong dan berharap agar Kementerian Kesehatan berkenan untuk mengevaluasi kebijakannya itu. 

 

"Jadi bukan hanya soal persyaratan screening pemberian vaksin. Tapi juga hendaknya mempertimbangkan berbagai perkembangan baru terkait Sinovac, bahwa vaksin ini aman untuk lansia. Jadi saya kira dua hal itu harus dievaluasi oleh Kemenkes," katanya. 

 

Terakhir, sekali lagi ia menyatakan dan menegaskan bahwa program vaksinasi Covid-19 di Indonesia berjalan tidak sesuai target. Pemerintah sendiri menargetkan bakal melakukan vaksinasi kepada 900 ribu hingga satu juta orang per hari.

 

"Tapi kenyataannya hanya 200-300 ribu. Itu kenapa? Karena pemberian vaksin di Indonesia terdapat persyaratan umur yaitu hanya digunakan untuk usia 18-59 tahun," katanya.

 

Ia membandingkan dengan India yang sudah berhasil mengendalikan wabah. Di sana, rata-rata per hari pasien Covid-19 sekitar 92 ribu. Namun, belakangan ini menurun sekitar 12 ribu per hari. Menurut Syahrizal, India adalah negara paling besar dengan jumlah persentase yang divaksin.

 

"Di sana, vaksinasi sudah terlebih dulu dimulai dibanding Indonesia. Sudah besar pula proporsi penduduk yang divaksin. Setelah divaksin, angka kematian dan kasus aktif turun. Di India itu aturan soal protokol kesehatan ketat sekali dan vaksinasi berjalan dengan baik di sana," jelasnya.

 

500 ribu tenaga kesehatan sudah divaksin
Dikutip dari situs resmi situs resmi Presiden, dinyatakan bahwa lebih dari 500 ribu tenaga kesehatan telah memperoleh suntikan vaksin Covid-19.

 

"Angka tersebut menunjukkan antusiasme yang luar biasa dari tenaga kesehatan untuk mendukung program vaksinasi yang sekaligus juga menunjukkan optimisme mereka terhadap keamanan dan manfaat vaksin dalam memberikan perlindungan terhadap diri mereka dari Covid-19," ujar Juru Bicara Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi.

 

Melihat jumlah tenaga kesehatan yang telah mendapatkan dosis vaksin tersebut, pemerintah optimistis bahwa target awal untuk 1,5 juta tenaga kesehatan mendapatkan vaksin Covid-19 dapat segera terwujud. 

 

Berdasarkan laporan dari Komisi Nasional Kejadian Ikutan Pascaimunisasi (KIPI), hingga saat ini semua reaksi yang dilaporkan setelah suntikan vaksin tersebut bersifat ringan dan tidak menimbulkan efek samping yang serius.

 

"Selain vaksinasi, protokol kesehatan 3M yakni mencuci tangan, menjaga jarak, dan memakai masker serta menghindari kerumunan dan membatasi mobilitas tetap harus dilaksanakan secara ketat," tandas Nadia.

 

Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan