Jakarta, NU Online
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI periode 2016-2017 Juri Ardiantoro menilai, Pemilu 2019 berjalan dengan lancar dan damai meski ada beberapa hal yang secara teknis harus diperbaiki. Juri mengingatkan, kendati masyarakat Indonesia sudah bisa mengetahui hasil pemilu melalui hitung cepat (quick count) dari beberapa lembaga survei, namun hasil resmi pemilu baru akan diumumkan KPU pada 22 Mei 2019 mendatang.
“Quick count (hitung cepat) memang bersifat sementara dan data yang diambil juga sampel saja, namun sejarah membuktikan bahwa metode ini sangat akurat sejak diperkenalkan dan dipraktikan di Indonesia. Apalagi tidak ada yang berselisih dari puluhan lembaga survei yang melakukan quick count di pemilu kali ini,” kata Juri sebagaimana rilis yang diterima NU Online, Jumat (19/4).
Kubu pasangan calon (paslon) 01 dan 02 berbeda dalam menyikapi hasil hitung cepat tersebut. Meski dinyatakan menang berdasarkan hasil hitung cepat, paslon 01 tidak mengklaim kemenangan dan menghimbau kepada para pendukungnya agar menghormari proses rekapilutasi KPU yang tengah berlangsung. Sementara paslon 02 menolak hasil hitung cepat dari beberapa lembaga survei dan mengklaim kemenangan berdasarkan hasil penghitungan internal.
Terkait hal ini, Juri menilai kalau sebagian masyarakat dibuat bingung dan bahkan terprovokasi untuk menolak hasil pemilu dengan cara-cara yang inkonstitusional. “Ajakan dan provokasi ini sama sekali tidak meiliki dasar sama sekali, kecuali kekecewaan karena kalah dalam pemilu,” tegas Koordiantor Presidium Nasional Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) ini.
Juri mempertanyakan alasan pihak yang menyangsikan dan menolak hasil pemilu. Apakah karena faktor kecurangan atau faktor kekalahan. Dia berpendapat, ajakan atau provokasi untuk menolak hasil pemilu merupakan sebuah upaya untuk mendelegitimasi hasil kerja penyelenggara pemilu.
Jika mereka yang menolak hasil pemilu, lanjut Juri, mengambil langkah-langkah inkonstitusional maka mereka sedang mengkhianati aturan main yang sudah disepakati bersama. Menurut Juri, semua pihak harus menerima hasil yang ditetapkan lembaga penyelenggara pemilu.
“Mari hormati proses yang sudah dan sedang berjalan. Percayakan semua lembaga penyelenggara pemilu bekerja menyelesiakan tugasnya dan menetapkan hasil pemilu,” papar Ketua KPU DKI Jakarta periode 2005-2008 dan 2008-2012 ini.
Juri mengingatkan, jika nanti ada pihak yang merasa kecewa karena ada temuan kecurangan dan pelanggaran maka mereka bisa menempuh jalur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada untuk menyelesaikannya.
Pemilu Indonesia, pemilu yang terbuka dan transparan
Juri menilai, pemilu Indonesia adalah pemilu yang terbuka dan transparan karena mulai proses pemungutan hingga penghitungan suara bisa disaksikan semua pihak. Bahkan, semua pihak juga bisa mendokumentasikan hasil penghitungan suara yang dituangkan dalam formulir C1. Oleh karenanya, siapapun susah berlaku curang karena semuanya bisa mengaksesnya.
“Selain itu, KPU juga memindai (scan) form C1 tersebut dan mempubliasikannya. Tidak cukup meng-upload C1, KPU juga melakukan input data C1 secara riil (real count) dalam aplikasi elektronik (SITUNG) yang dapat dipantau publik sepanjang waktu,” jelasnya.
Menurut Juri, ada tiga elemen penopang mengapa pemilu Indonesia menjadi salah satu rujukan dunia untuk pemilu yang demokratis dan menjamin akuntabilitas. Pertama, pemilu yang terbuka. Kedua, memiliki mekanisme pembuktian kebenaran data. Ketiga, memiliki kelengkapan berbagai perangkat hukum dan lembaga penyelesaian jika terjadi masalah. (Red: Muchlishon)