Nasional

Dua Faktor Penyebab Tingginya Angka Kematian Ibu dan Anak Menurut Alissa Wahid

Ahad, 23 September 2018 | 15:50 WIB

Jakarta, NU Online

Berdasarkan Laporan World Bank tahun 2017, dalam sehari ada empat ibu di Indonesia yang meninggal akibat melahirkan. Survei Dasar Kesehatan Indonesia tahun 2012, menyebutkan dari setiap 1.000 kelahiran di Indonesia, ada 19 bayi yang di antaranya meninggal.

Alissa Wahid sekretaris Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU menyebutkan dua penyebab tingginya angka kematian ibu saat melahirkan; pertama kurangnya pendidikan reproduksi dan program keluarga berencana di kalangan masyarakat di daerah.

Menurunnya intensitas ini kata Alissa disebabkan oleh perubahan faktor politik di Indonesia sejak diterapkannya sistem otonomi daerah. Ia menyebabkan tidak mudahnya merealisasikan program dari pusat di sejumlah daerah di Indonesia.

“Salah satunya faktor politik yakni adanya otonomi daerah. Setelah diberlakukannya otonomi daerah, banyak program dari pusat seperti BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) tidak efektif di daerah karena sangat bergantung  pada daerah masing-masing,” kata Alissa pada NU Online di gedung PBNU, Sabtu (22/9).

Di samping sejumlah manfaatnya, adanya otonomi daerah juga menyebabkan berkurangnya kewenangan pemerintah pusat untuk mejalankan program di tigkat daerah. Sehingga program dari pusat, termasuk BKKBN misalnya sangat bergantung pada pemerintah daerah itu sendiri.

“Jadi ada problem itu, BKKBN tidak lagi bisa dari atas ke bawah. Itu berdampak pada berkurangnya pendidikan keesehatan reproduksi, petugas lapangan Keluarga Berencana tidak terkelola secara nasional. Itu baru tahun lalu sistemnya diperbaiki lagi,” ungkapnya.

Masalah kedua menurut putri sulung Gus Dur adalah menguatnya konservatisme agama. “Orang yang tidak memahami konsep dar’ul mafasid muqoddamun ala jalbil masholih itu dia berhenti di satu titik, apakah ini produk datang dair lingkungan Islam atau bukan,” kata Alissa.

Konsep yang disebut Alissa adalah konsep ushul fiqih yang intinya; menghindari keburukan lebih didahulukan dari pada melakukan kebaikan.

“Mereka beranggapan, kalau tidak dari Islam langsung dianggap haram. Itu yang kemudian membawa dampak pada orang jadi tidak peka pada kondisi kesehatan dia. Dia menaggap bahwa kondisinya adalah takdir yang tak perlu dirawat. Itu yang salah. Itu yang menjadikan angka kematian ibu dan anak semakin tinggi,” jelas Alissa.

Alissa juga mengatakab, kondisi konservatisme agama yang saat ini turut menyumbang tingginya kematian ibu dan anak juga pernahterjadi puluhan tahun lalu. Namun pemerintah dengan programnya pernah berhasil menurunkan anga kematian ibu kala itu.

“Padahal program KB pernah berhasil di Indonesia. Dan itu hasil dari kerja keras dari Muslimat NU dan Fatayat sekitar tahun 1969 hingga 1971. Dalam perjuangannya sampai muncul fatwa hasil dari bahtsul masail di PBNU. Nah Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU itu sebenarnya didirikan sebagai bentuk merespon situasi kesehatan ibu dan anak dan kemaslahatan keluarga saat itu,” terangnya.

Ia berkesimpulan ada kemiripan antara kondisi saat itu dan sekarang. “Kondisi dulu mirip dengan yang sekarang. Makanya ini kemunduran dalam kacamata kesehatan reproduksi nasional,” terangnya. (Ahmad Rozali)