Nasional

Dosen Al-Azhar Kairo Apresiasi Keputusan Munas NU tentang Penghapusan Kata Kafir

Sel, 5 Maret 2019 | 07:30 WIB

Dosen Al-Azhar Kairo Apresiasi Keputusan Munas NU tentang Penghapusan Kata Kafir

Dosen Universitas Al-Azhar Mesir Syekh Bilal Mahmud di Jombang

Jombang, NU Online
Dosen dari Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir Syekh Bilal Mahmud Afifi Ghanim menyetujui dan mendukung rekomendasi PBNU dalam konteks mengganti kata kafir dengan non muslim. Untuk interaksi sesama manusia agar saling menghormati dan menjaga perasaan satu sama lain.

Pernyataan ini disampaikan lewat mutarojjimnya KH Ahmad Kanzul Fikri dalam acara seminar ke Aswajaan di Universitas KH Abdul Wahab Hasbullah (Unwaha) Tambakberas, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Senin (04/03).

"Masalah ini (penghapusan kata kafir) juga diamini oleh Syech Bilal Mahmud Afifi Ghanim dari Universitas Al-Azhar, Kairo, saat mengisi seminar keAswajaan di Unwaha. Ia mendukung dan setuju dengan rekomendasi PBNU dalam konteks interaksi sesama manusia untuk saling menghormati dan menjaga perasaan satu sama lain," katanya.

Dikatakan, banyak yang belum memahami esensi dari hasil rekomendasi Bahsul Masail di Musyawarah Nasional beberapa waktu lalu. Sebenarnya yang dimaksud di sini yaitu dalam konteks bermu'asyarah, selayaknya antar umat beragama memanggil kaum lain dengan panggilan yang tidak menyinggung perasaannya.Ā 

PBNU dan team Bahsul Masail telah berani membuat terobosan dan lompatan pemikiran yang luar biasa terkait dengan Fiqh Siyasah, Fiqh Bi'ah (lingkungan) dan juga Fiqh Mu'amalah. Tidak ada organisasi keagamaan lain yang se-inovatif NU saat ini

"Kata Kafir dirasa kurang elok di tengah isu SARA dan politik identitas yang dihembuskan kelompok radikalis dan kaum takfiriĀ  akhir-akhir ini diganti dengan kata non-Muslim. Untuk mempersatukan anak bangsa yang berbeda keyakinan yang hidup dalam satu negara," jelas Pengasuh Pesantren Al-Aqobah Jombang ini.

Menurutnya, tidak ada niatan untuk mengubah redaksi atau nash dari Surat Al-Kafirun. Ini justru fitnah yang keji yang sudah menyimpang dari substansi pembahasan hasil Bahsul Masail. "Di beberapa negara Timur Tengah seperti mesir dan Arab Saudi telahĀ  menggunakan istilah non-Muslim (Ghoirul Muslimin) terlebih dahulu di kawasan umum," tambah alumni Universitas Islam Malang ini.

Kiai Ahmad mengatakan perlu usaha lebih dari para ulama untuk memahamkan kelompok yang tidak paham maksud dari NU ini. Hal ini supaya tidak berlarut-larut masalah yang sebenarnya sudah jelas. "Sekarang menjadi tugas kiai dan ulama serta para gawagus untuk memahamkan tema ini agar mudah dicerna oleh masyarakat awam yang berada di kalangan bawah," tandasnya. (Syarif Abdurrahman/Muiz)