Jakarta, NU Online
Platform Nasional (Planas) Pengurangan Risiko Bencana bekerjasama dengan Aliansi Masyarakat untuk Penguatan Undang-Undang Penanggulangan Bencana (AMPU) menggelar diskusi publik untuk menyoroti implementasi Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. Kegiatan berlangsung Selasa (28/8) mulai pukul 08.30-12.00 WIB di Kantor Pusat Dewan Dakwah Muhammadiyah Jakarta.
Diskusi berangkat dari adanya Undang-Undang Tentang Penanggulangan Bencana dan peraturan turunannya telah dilaksanakan selama lebih dari sepuluh tahun dengan berbagai capaian yang menggembirakan. Laporan nasional tentang Implementasi Kerangka Kerja Hyogo (HFA) Tahun 2015 misalnya, menyebutkan adanya sejumlah pencapaian yang sangat baik terkait sektor kebijakan dan pelembagaan, pemahaman risiko dan sistem peringatan dini, pemanfaatan pengetahuan dan pendidikan, upaya untuk mengurangi faktor-faktor risiko yang mendasarinya, serta kesiapan dalam melakukan respon bencana yang efektif.
Namun, laporan tersebut juga menyimpulkan bahwa meskipun Indonesia telah menunjukkan komitmen institusional, tetapi kemajuan yang diperoleh tetap belum cukup komprehensif dan substantif. Lahirnya UU Penanggulangan bencana sebagaimana tercatat dalam Lembaran Negara RI Nomor 66 Tahun 2007 bagaimanapun telah membawa banyak perubahan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana di Indonesia.
Salah satu perubahan paling mendasar yang bisa diamati dalam sepuluh tahun terakhir adalah soal perubahan paradigma penanggulangan bencana yang sebelumnya masih didominasi oleh respon darurat, menjadi penyelenggaraan penanggulangan bencana secara menyeluruh.
Pada tataran kelembagaan, hal ini tercermin dari struktur organisasi pemerintah yang menunjukkan bidang-bidang kesiapsiagaan dan pencegahan, tanggap darurat maupun rehabilitasi dan rekonstruksi. Bentuk struktur demikian secara otomatis membawa konsekuensi terhadap penganggaran kegiatankegiatan penanggulangan bencana.
Tumbuhnya berbagai pusat studi bencana bahkan jurusan penanggulangan bencana di beberapa universitas di Indonesia juga merupakan kemajuan penting selain tumbuhnya berbagai organisasi non-pemerintah yang menaruh perhatian pada isu-isu di bidang penanggulangan bencana. Perhatian media terhadap isu-isu penanggulangan bencana juga semakin informatif dan edukatif, bukan hanya liputan peristiwa bencana semata, namun juga mulai banyak menampilkan informasi-informasi tentang mitigasi bencana, kesiapsiagaan, sistem peringatan dini dan sebagainya.
Terlepas dari berbagai catatan kemajuan di atas, Planas PRB dan AMPU juga mencatat adanya sejumlah hal yang belum optimal implementasinya sampai hari ini. Potret penyelenggaraan penanggulangan bencana di Indonesia hari ini salah satunya bias dilihat dari pelaksanaan tanggap darurat bencana gempa di Lombok. Polemik soal status tanggap darurat kembali muncul. Hal ini terjadi karena hingga saat ini belum ada kesepakatan para pihak soal kriteria status bencana nasional atau bencana daerah.
Demikian juga soal peran dan bantuan lembaga asing, meski sudah diatur dalam PP No. 23/2008, namun ternyata belum benar-benar satu pemahaman. Soal tumpang tindih koordinasi dan berbagai persoalan yang mengemuka di Lombok menunjukkan bahwa fungsi koordinasi, fungsi komando dan fungsi pelaksana sebagaimana dimiliki BNPB hari ini masih banyak hal yang harus dibenahi.
Diskusi publik tentang penyelenggaraan PB di Indonesia selama sepuluh tahun terakhir ini juga akan dimanfaatkan untuk memperoleh masukan terkait agenda revisi UU Penanggulangan Bencana yang saat ini mulai didorong agendanya di Komisi VIII DPR RI yang membidangi masalah agama, sosial, penanggulangan bencana dan pemberdayaan perempuan.
Kegiatan menghadirkan sejumlah narasumber dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), anggota Komisi VIII DPR RI, anggota DPD RI, wartawan, akademisi dan praktisi kebencanaan. (Red: Kendi Setiawan)