Ketika menjelang tengah malam, dari pintu sebelah kiri Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, keluar seseorang dengan perlahan. Kemudian terjadi kerumunan dengan tiba-tiba, dan teriakan-teriakan untuk menyingkir. Puluhan orang berdesakan.
Seseorang yang keluar itu bukan pejabat teras pemerintahan atau tokoh politik yang sedang ditunggu awak media untuk dimintai pendapat tentang situasi terkini. Bukan juga artis yang baru saja digugat cerai pasangannya. Bukan juga olahragawan atau pengusaha yang yang kekayaannya masuk di majalah Forbes.
Seseorang itu menutupi kepalanya dengan balutan kain putih. Mukanya coklat. Tak berkumis, tapi memelihara janggut yang memutih. Pundaknya dikalungi serban hijau yang menjuntai di kanan kiri perutnya. Berbaju putih yang dilapisi jas hitam tanpa dikancingkan. Serta bersarung kotak-kotak merah muda dan putih. Serta beralas kaki sandal hitam.
Dia Tuan Guru Haji Lalu Turmudzi Badrudin, kiai sepuh asal pulau seribu masjid, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Ia jauh datang ke tempat itu untuk mendengarkan pembacaan puisi sahabatnya, sesama Mustasyar PBNU, KH Ahmad Mustofa Bisri atau yang biasa disapa Gus Mus, bersama teman-temannya, Kamis malam (24/8).
Ketika ia datang, Gus Mus yang malam itu berbaju panjang dan peci hitam, bercelana abu-abu dan sandal hitam, menyambutnya langsung. Tuan Guru kelahiran 1936 itu dipersilakan kiai asal Leteh, Rembang, itu duduk di tengah-tengah ratusan hadirin. Saat pembacaan puisi, tidak beranjak dari tempat duduknya hingga usai.
Saat usai acara, pengasuh Pesantren Qomarul Huda meninggalkan ruangan dengan dikawal lingkaran belasan Barisan Ansor Serbaguna dari Satkorcab Jakarta Pusat. Namun, kawalan tersebut kadang-kadang jebol dengan barisan anak muda yang hendak bersalaman dengan dengan tuan guru yang pernah nyantri kepada TGH Sholeh Chambali, Bonder, Rais Syuriyah NU pertama di pulau itu.
Tuan Guru asal desa Bagu itu tak bisa menepis barisan anak muda yang mengulurkan tangan serta menciumnya. Ia menerimanya dengan senyum sambil berjalan tertatih-tatih.
“Alhamdulillah tergugah hati kita untuk umat Muslim di Palestina,” katanya ketika ditanya kesan setelah menyimak acara bertajuk “Doa untuk Palestina” yang diinisiasi Gus Mus itu.
“Kita berdoa mudah-mudah-mudahan semoga Palestina merdeka,” lanjut keterunan bangsawan suku Sasak itu.
Ia mengaku tak pernah menghadiri pebacaan puisi di Taman Ismail Marzuki. Serta jarang sekali menghadiri kegiatan model itu di tempat lain.
Ketika ditanya motif kehadirannya di malam itu, ia mengaku karena dua-duanya, Gus Mus dan Palestina.
“Saya senang karena Gus Mus dan Palestina,” katanya sambil tersenyum merekah dan tertawa pelan.
Kemudian, kiai yang termasuk jajaran ahlul halli wal-‘aqdi di Muktamar NU ke-33 di Jombang itu pun perlahan menaiki kendaraan hitam yang sudah tersedia. (Abdullah Alawi)
Terpopuler
1
Saat Jamaah Haji Mengambil Inisiatif Berjalan Kaki dari Muzdalifah ke Mina
2
Perempuan Hamil di Luar Nikah menurut Empat Mazhab
3
Pandu Ma’arif NU Agendakan Kemah Internasional di Malang, Usung Tema Kemanusiaan dan Perdamaian
4
Saat Katib Aam PBNU Pimpin Khotbah Wukuf di Arafah
5
360 Kurban, 360 Berhala: Riwayat Gelap di Balik Idul Adha
6
Belasan Tahun Jadi Petugas Pemotongan Hewan Kurban, Riyadi Bagikan Tips Hadapi Sapi Galak
Terkini
Lihat Semua