Nasional

Cerita Juhali dan Erik Terhempas Tsunami Palu

NU Online  ·  Rabu, 17 Oktober 2018 | 13:15 WIB

Cerita Juhali dan Erik Terhempas Tsunami Palu

Juhali (kaos biru) bersama Ketua PBNU H Sulton Fathoni.

Palu, NU Online
Saat gempa bumi dan tsunami yang terjadi 28 September 2018, Murni Juhali tengah menuju ke masjid di desanya di Talise, Kecamatan Tawaeli, Kota Palu. Adzan maghrib memang tengah berkumandang di perdesaan nelayan tak jauh dari jalan Trans Sulawesi.

Belum tiba di dalam masjid, langkah Juhali terhenti. Mendadak ia mendengar suara gemuruh. Tanah yang ia pijak bergoyang-goyang. Ia dan beberapa warga lainnya terbanting. 

Belum usai rasa kaget Juhali, rupanya air dari laut naik ke daratan, menghempas rumah-rumah di kampung itu.

“Serangan tsunami pertama kami segera lari. Ternyata ada tsunami susulan yang sama besarnya. Kami terus berlari menjauhi pantai,” cerita Juhali di pengungsian Talise, Rabu (17/10).

Ketinggian air yang menyerang desanya mencapai kabel listrik atau sekitar tujuh meter. Untungnya ada tanggul yang membatasi perkampungan dan pantai, sehingga air lebih dulu membanting tanggul itu. Air yang masuk ke perkampungan adalah pantulan dari hempasan pertama.

“Tanggul roboh, padahal tebalnya tiga meter,” kata Juhali.

Ia menceritakan, air yang datang pertama menggulung beberapa warga dan membawa mereka ke laut. “Ada 20 orang yang meninggal atau hilang,” imbuh Juhali.

Seorang warga lainnya, Erik menceritakan ia sempat terseret ombak, namun dapat kembali ke daratan. “Saya terbawa arus hempasan air pertama,” katanya sambil memperlihatkan luka di lengannya.

Luka itu akibat terkena balok dan pecahan reruntuhan rumah.

Erik menceritakan pada saat kejadian tersebut terlihat fenomena aneh di lautan, seperti pusaran puting beliung, namun yang berpusar-pusar itu adalah air.

"Airnya tinggi. Ada dua orang yang terbawa pusaran itu. Yang satu bisa kembali ke darata, satunya hilang," kisahnya.

Di pengungsian dampingan NU Peduli itu, Juhali tinggal bersama 100 warga lainnya. Terdapat sembilan tenda yang mereka dirikan. Beberapa warga memasak dengan sumber api dari kayu yang mereka ambil dari reruntuhan bekas rumah dan bangunan yang ada di kampung itu. Sementara anak-anak kecil bermain bola di antara tenda-tenda itu.

Tanah yang mereka tempati adalah milik Juhali. Pria nelayan itu mengatakan dengan ikhlas merelakan lahannya untuk didirikan tenda pengungsian bersama warga lainnya.

“Kami sedang sama-sama kesusahan akibat tsunami. Rumah-rumah hancur. Kalau sudah begini, ke mana lagi kita ‘kembali’ kalau bukan kepada Allah?” katanya berusaha tegar. (Kendi Setiawan)