Nasional

Bertandang ke Singkawang, Kota Toleran yang Sedap Dipandang

Ahad, 24 Desember 2023 | 13:00 WIB

Bertandang ke Singkawang, Kota Toleran yang Sedap Dipandang

Ilustrasi: Bukan saja alamnya yang menjadi daya tarik, toleransinya dikenal cukup baik sehingga Singkawang diganjar sebagai kota paling toleran berulang kali. (Foto: NU Online/Syakir NF)

Jakarta, NU Online

Diperlukan paling tidak tiga jam perjalanan dari Bandara Supadio di Kuburaya, Kalimantan Barat untuk sampai di kota yang meraih hattrick sebagai kota paling toleran di Indonesia, yakni Singkawang. Sebagai sebuah kota administratif, Singkawang baru dibentuk pada tahun 1981 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 1981. Kota ini dipisahkan dari induknya, yakni Kabupaten Sambas.


Kota ini menjadi wilayah lintasan dari pusat ibu kota Kalimantan Barat di Pontianak menuju wilayah perbatasan dengan Malaysia yang terletak di Sambas. Karenanya, wilayah ini cukup strategis. Apalagi kota ini berbatasan langsung dengan laut di bagian baratnya dan dikelilingi perbukitan sekaligus. 


Bukan saja alamnya yang menjadi daya tarik Singkawang, tetapi juga toleransinya yang dikenal cukup baik. Tak pelak, Singkawang ini diganjar sebagai kota paling toleran berulang kali.

 

Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Singkawang Edy Purwanto Achmad menyampaikan bahwa kehidupan harmonis masyarakat Singkawang sudah dari dahulu terjalin. Keragaman suku, etnis, dan agama justru merekatkan hubungan mereka dan hidup berdampingan penuh kedamaian. 


"Contohnya kalau ada waktu lebaran, tanpa melihat agama dan sukunya, mereka saling berkunjung. Orang Tionghoa berkunjung ke tempat orang Islam," ujarnya kepada NU Online pada Sabtu (23/12/2023).


Bahkan, Ana Westy Martiani dalam bukunya berjudul Singkawang: Simpul Cinta, Sejarah, dan Toleransi (2022), mencatat bahwa hari-hari besar di kota ini dirayakan secara bersama. Bukan hanya lebaran, tetapi juga Pawai Keliling Kota menyambut Ramadhan dan Tahun Baru Islam. Ada juga Festival Naik Dango yang dirayakan Dayak sebagai bentuk syukur setiap musim panen. Pun Festival Cap Go Meh bagi warga Tionghoa yang merayakan Tahun Baru China. Peringatan dan festival tersebut dirayakan secara bersama-sama oleh seluruh warga.


Perwujudan toleransi itu tidak hanya tampak dari kehidupan individu dan kelompok seperti di atas, tetapi juga tergambarkan dengan rumah ibadah yang bersisian.  Misalnya, Masjid Raya Singkawang yang lokasinya berdekatan dengan Vihara Tri Dharma Bumi Raya yang dibangun sejak tahun 1871 dan dibangun kembali karena kebakaran pada tahun 1933 (Ana Westy Martiani: 2022).


"Begitu juga dalam pendirian rumah ibadah. Rumah ibadah yang usianya sudah 100 tahun, ada masjid dan pekong (vihara). Sekarang terpisah ruko. Dulu belum ada bangunan," kata Edy.


Menurutnya, toleransi di Singkawang ini terbangun karena kolaborasi seluruh pihak. Selain ada peran pemerintah, tokoh agama, juga masyarakat secara umum. "Ada peran pemerintah yang sangat memberikan dorongan, juga pemuka agama, juga masyarakat berperan," katanya.


Edy juga menegaskan bahwa  dalam perwujudan itu juga NU sebagai salah satu entitas lembaga kemasyarakatan keagamaan turut berperan. Pihaknya sangat mendukung terhadap terwujudnya perdamaian di Singkawang ini.


"NU pada tingkat kebangsaan tingkat negara yang menjaga keseimbangan antara berbagai komponen masyarakat, NU berusaha di tengah. NU memberikan dukungan pemerintah dengan berbagai kesempatan untuk mengajak masyarakat, menciptakan toleransi di Kota Singkawang," ujarnya.


"Pada dasarnya, tidak ada problem dalam kaitannya perbedaan agama, suku," imbuhnya.

 

3 gerbang cermin etnis

Singkawang berbatasan langsung dengan tiga kabupaten di Kalimantan Barat, yakni Kabupaten Bengkayang di timur, Kabupaten Sambas di utara, dan Kabupaten Mempawah. Di perbatasan dengan tiga kabupaten itu, ada tiga gapura yang dibuat dengan ornamen dan arsitektur yang khas mewakili tiga suku/etnis mayoritas di Singkawang, yakni Tionghoa, Dayak, dan Melayu (Tidayu).


"Sebenarnya mengenai pintu di tiga penjuru Kota Singkawang, dari selatan, timur, dan utara itu bagian dari solusi yang ditawarkan pemerintah saat itu, bahwa pemerintah akan membuat bangunan tiga etnis besar, yakni Tionghoa, Dayak, Melayu," kata Edy.


Utara bernuansa Melayu. Disesuaikan dengan penghuni yang mayoritas ada di daerah situ. Diharapkan memberikan dukungan, menuruti, mewujudkan keinginan masyarakat supaya simbol mereka terwakili.


Di perbatasan Bengkayang, dibangun gapura Tama Ka' Lawakng. Gerbang di bagian timur Singkawang ini menjadi visualisasi Dayak mengingat suku itulah yang banyak menghuni wilayah tersebut. Gapura ini berukuran 80 meter, lebar gawang dalam 12 meter, lebar gawang luar 18,2 meter, tinggi gawang dalam 6 meter, tinggi gawang luar 16,13 meter, sebagaimana dilansir situsweb resmi Kota Singkawang.


Sementara di perbatasan dengan Sambas, dibangun Gerbang Mahligai Pesisir. Gapura di sisi utara Singkawang ini menggambarkan arsitektur Melayu mengingat mayoritas penduduk di wilayah tersebut bersuku itu.


Adapun perbatasan Singkawang dan Mempawah dibangun gerbang Cap Go Meh. Di gerbang bagian selatan itu, terdapat dua naga yang melintang. Gerbang itu menjadi cerminan masyarakat etnis Tionghoa yang banyak menghuni wilayah tersebut. Karena banyaknya etnis Tionghoa di wilayah ini juga membuat Singkawang dijuluki sebagai Kota Amoi.


Salam
Toleransi juga tampak dari salam khas yang menjadi pembuka pidato dalam kegiatan-kegiatan resmi di Singkawang. Salam ini berasal dari bahasa Dayak.

 

Adil ka talino. Bacuramin ka saruga. Basengat ka jubata.

 

Begitulah bunyi salam itu. Salam di atas dijawab oleh para penyimaknya dengan kata, “Arus!

 

Adil ka talino berarti adil terhadap sesama. Bacuramin ka suraga berarti bercermin ke surga. Basengat ke jubata berarti bernafaskan Tuhan.


“Jubata itu Tuhan. Jadi, apa yang kita lakukan itu harus adil terhadap sesama dengan tetap ingat Tuhan dan bertujuan surga,” kata Edy.


Adapun kata 'Arus' yang menjadi jawaban orang-orang yang disalami itu memiliki arti tanda kesepakatan. Maksudnya, setiap mereka menyetujui bahwa setiap manusia harus berlaku sebagaimana kalimat tersebut, yaitu bersikap adil terhadap sesama dengan menjadikan surga sebagai cerminan dan setiap tindak-tanduknya bernafaskan Tuhan.

 

Salam tersebut terefleksikan dalam kehidupan sosial di Singkawang. Masyarakat dengan keragaman latar belakang dapat hidup dengan rukun. Bahkan, kota dengan “Seribu Kelenteng” ini mendapatkan predikat paling toleran menurut Setara Institute.