Yogyakarta, NU Online
Syawalan menjadi momentum sangat tepat bagi umat Islam untuk menguatkan persaudaraan. Inilah yang dilakukan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama’ (PWNU) Daerah Istimewa Yogyakarta dengan menggelar Forum Silaturrahim Ulama dan Ormas Islam se-DIY pada Kamis, 30 Agustus 2012, di Hotel Ruba Graha Yogyakarta. <>
Kegiatan ini menghadirkan para pembicara, diantaranya adalah H Untung Cahyono, M Hum (Muhammadiyah), Muhammad Jazir (Ketua Takmir Masjid Jogokariyan), Abdul Ghafar (Ketua LKPSM NU DIY), dan Sahiron Syamsuddin (Wakil Rais Syuriah PWNU DIY). Acara ini dipandu oleh moderator Abdul Mustaqim (Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta).
Dalam kesempatan ini Sahiron Syamsuddin mengatakan bahwa memantapkan persaudaraan akan menjadi kekuatan untuk kemajuan bangsa. Semangat bersaudara ini, lanjut beliau, telah diteladankan oleh Nabi Muhammad SAW ketika beliau membangun masyarakat Madinah.
“Ketika membangun masyarakat Madinah, Nabi Muhammad mencetuskan Piagam Madinah. Dari Piagam Madinah ini kita mengetahui bahwa orang-orang Yahudi dan umat non-Muslim lainnya mendapatkan perlakuan damai dan adil dari Rasulullah, yang dalam bidang agama, Rasulullah tidak memaksa mereka untuk mengikuti agama Islam. Dalam bidang sosial politik, mereka dan umat Islam diharuskan untuk saling menghormati, membantu, menjaga loyalitas, dan bersama-sama membangun negara kota Madinah,” tegasnya.
“Piagam Madinah memberikan inspirasi kepada para ulama di Indonesia pada masa kemerdekaan RI untuk menerima Indonesia sebagai negara republik, bukan negara agama, dan menerima Pancasila sebagai dasar negara,” lanjutnya.
Sementara itu, Abdul Ghafar menjelaskan bahwa saatnya persadaraan umat Islam dijadikan sebagai momentum melakukan reorientasi gerakan dengan meneguhkan semangat politik kebangsaan. Dengan politik kebangsaan inilah, lanjutnya, umat Islam akan memberikan kontribusi penting dalam kemajuan bangsa.
“Politik kebangsaan semestinya dilakukan sebagaimana dilakukan oleh founding fathers. Jika kita belajar kepada mereka, semua berpikir tentang politik kebangsaan. Kalau politik kekuasaan itu menggoda, tetapi umurnya pendek,” tegasnya.
Abdul Ghafar juga menjelaskan bahwa Muslim di Indonesia jumlahnya bisa kira-kira 212 juta. Sebagian besar mereka adalah kelompok yang menamakan dirinya dengan ahlussunnah dengan berbagai variannya. Varian tersebut tidak perlu kita sesali, karena perbedaan itu muncul dari satu kitab suci. Jumlah muslim yang besar ini, baginya, cukup untuk melakukan revitalisasi gerakan. Disinilah ormas Islam berperan penting melakukan reorinetasi gerakan umat.
“Agar menjadi efektif, organisasi mulai mengambil agenda keumatan. Umat muslim yang kira-kira 212 juta itu akan memberi kontribusi apa untuk persoalan umat. Umat yang heterogen, relatif sulit untuk mampu mewujudkan konsep rahmatan lil’alamin. Ini adalah tantangan kaum muslimin. Ormas Islam harus mampu mengatasi ini dan mampu menunjukkan kepada dunia wajah Islam yang sesungguhnya,” tegasnya.
Sementara itu Untung Cahyono menjelaskan bahwa ada tiga kunci menuju masyarakat madani di Indonesia, yakni ukhuwah islamiyah (ikatan keislaman), ukhuwah wathaniyah (ikatan kebangsaan), ukhuwah basyariyah (ikatan kemanusiaan) dalam bingkai NKRI.
Menurut Pak Untung, panggilan akrab Untung Cahyono, peran ormas sangat penting menuju masyarakat madani itu. “Ormas itu ibarat rem, sedangkan pemerintah itu sopirnya,” tegasnya disambut tawa para peserta.
Pak Untung melihat bahwa berbagai fenomena keberagamaan yang meresahkan masyarakat itu harus disikapi dengan bijak. Selain memberikan pemahaman pendidikan yang memadai, juga memberikan teladan berbangsa yang baik.
“Hal-hal kecil yang menyangkut pemahaman diantaranya persoalan pakaian, jenggot, pecis, dan sebagainya, masih menimbulkan problem. Ini bisa diatasi dengan pendidikan yang memadai yang didukung oleh keluarga, lembaga pendidikan, masyarakat, dan pemerintah. Ormas akan memiliki peran maksimal jika pimpinan dan pendukungnya memiliki suri tauladan yang baik dalam segala aspek kehidupannya,” tegasnya.
“Tokoh ormas islam juga dituntut untuk menasihati para birokrat dan pengusaha supaya tidak melakukan penyelewengan dan berbagai langkah dan usaha yang korup, manipulatif dan sejenisnya,” lanjutnya.
Masjid, inspirasi peradaban
Sementara Ustadz Muhammad Jazir, Ketua Ta’mir Masjid Jogokaryan mengatakan bahwa dalam menguatkan persaudaraan ini, fungsi masjid sangat penting. Untuk itu, baginya, sudah seharusnya masjid dijadikan sebagai inspirasi dalam membangun peradaban.
“Rasulullah mendudukkan masjid sebagai tempat yang strategis dalam kehidupan kaum muslimin,” tegasnya.
Menurut Pak Jazir, tata kota dahulu pusatnya adalah masjid, di depannya alun-alun, sebelah kiri adalah kraton. Dan keempat adalah pasar sebagai tempat ekonomi. Tetapi pasar berjauhan dengan keraton, bahkan Pangeran Mangkubumi memagari negara dengan masjid. Ketika Belanda datang, masjid tidak boleh didirikan di dekat masjid, tetapi di pedalaman di dekat kuburan.
Redaktur: Mukafi Niam
Kontributor: Anas
Terpopuler
1
Khutbah Idul Adha 2025: Teladan Keluarga Nabi Ibrahim, Membangun Generasi Tangguh di Era Modern
2
Khutbah Idul Adha: Menanamkan Nilai Takwa dalam Ibadah Kurban
3
Bolehkah Tinggalkan Shalat Jumat karena Jadi Panitia Kurban? Ini Penjelasan Ulama
4
Khutbah Idul Adha: Implementasi Nilai-Nilai Ihsan dalam Momentum Lebaran Haji
5
Khutbah Idul Adha Bahasa Jawa 1446 H: Makna Haji lan Kurban minangka Bukti Taat marang Gusti Allah
6
Khutbah Idul Adha: Menyembelih Hawa Nafsu, Meraih Ketakwaan
Terkini
Lihat Semua