Nasional

Benarkah Puasa Ramadhan Tingkatkan Imunitas Pencegah Covid-19?

Ahad, 19 April 2020 | 09:30 WIB

Benarkah Puasa Ramadhan Tingkatkan Imunitas Pencegah Covid-19?

Banyak pendapat yang menyebut, puasa memberikan pengaruh baik bagi tubuh manusia. Salah satunya terkait dengan daya tahan tubuh atau sistem imun, mengingat saat ini masyarakat sedang memasuki masa pandemik Covid-19. (Ilustrasi)

Jakarta, NU Online
Beberapa hari lagi, umat Islam akan melaksanakan ibadah puasa Ramadhan. Puasa Ramadhan sendiri adalah salah satu kewajiban bagi umat Muslim.
 
Banyak pendapat yang menyebut, puasa memberikan pengaruh baik bagi tubuh manusia. Salah satunya terkait dengan daya tahan tubuh atau sistem imun, mengingat saat ini masyarakat sedang memasuki masa pandemik Covid-19.

Ketua Bidang Seksi Humas, Pusat Data, dan Informasi pada Pimpinan Pusat Perhimpunan Dokter Nahdlatul Ulama (PP PDNU), dr Heri Munajib mengatakan imunitas atau kekebalan tubuh merupakan sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan membunuh pathogen serta sel tumor. 
 
"Fungsi dari sistem imun adalah melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit, menghancurkan dan menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing seperti bakteri, parasit, jamur, virus yang masuk ke dalam tubuh. Sistem imun juga menghilangkan jaringan atau sel yang mati atau rusak untuk perbaikan jaringan, serta mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal," ujar dia, Ahad (19/4).
 
Dari sisi kedokteran, dr Heri juga menyebutkan bahwa puasa memiliki segudang manfaat. "Tak hanya secara rohani berupa ibadah yang memperoleh pahala, puasa rupanya juga baik untuk kesehatan tubuh," imbuhnya.

Ia menyebutkan sejumlah jurnal telah mengungkapkan bagaimana hubungan antara puasa Ramadhan dengan kekebalan tubuh atau sistem imun. Salah satunya jurnal berjudul A systematic review, meta‑analysis, and meta‑regression of the impact of diurnal intermittent fasting during Ramadan on body weight in healthy subjects aged 16 years and above. 
 
Jurnal oleh Haitham A Jahrami dkk terbitan tahun 2020, menyebutkan bahwa RDIF menghasilkan penurunan berat badan yang signifikan, tetapi kecil. 
 
"Heterogenitas dalam temuan mungkin mencerminkan variabel perilaku diet dan gaya hidup yang dipraktikkan selama bulan Ramadhan, bersama dengan variasi dalam durasi waktu puasa dan berbagai kondisi iklim dan geografis di sekitar orang yang berpuasa berbeda negara," sebut dr Heri mengutip jurnal tersebut.

"Jurnal lainnya, Effects of Ramadan Fasting on Some Haematological and Biochemical Parameters oleh Huda M Al Hourani dkk terbitan tahun 2009 mengungkapkan bahwa Puasa Ramadhan adalah metode nonfarmakologis yang sehat untuk meningkatkan profil lipid," sambung dr Heri.
 
Lipid atau lemak di dalam tubuh yang profilnya membaik akan mendorong kolesterol baik. Artinya, kolesterol jahat akan turun. Pada beberapa kasus stroke dan jantung, terjadi karena tingginya kolesterol jahat.
 
Heri juga menyebutkan jurnal lainnya berjudul Intermittent fasting from dawn to sunset for 30 consecutive days is associated with anticancer proteomic signature and upregulates key regulatory proteins of glucose and lipid metabolism, circadian clock, DNA repair, cytoskeleton remodeling, immune system and cognitive function in healthy subjects.
 
Jurnal oleh Ayse L Mindikoglu dkk terbitan tahun 2020 itu menyebutkan bahwa puasa intermiten 30 hari dari fajar hingga matahari terbenam dapat menjadi pendekatan preventif dan terapeutik pada kanker serta dalam beberapa metabolisme, peradangan dan penyakit kekebalan tubuh, penyakit Alzheimer dan gangguan neuropsikiatri dengan mengakibatkan a proteome protektif terhadap karsinogenesis, obesitas, diabetes, sindrom metabolik, peradangan, disfungsi kognitif, dan kesehatan mental.
 
Kemudian, dilansir dari jurnal An unorthodox approach to handle SARS-CoV-2: Breaking the virus spikes oleh Alaa Shaheen terbitan tahun 2020 menyatakan bahwa  reaksi basa Schiff muncul untuk memisahkan lonjakan SARS-CoV-2. Badan keton, terutama asetoasetat, dapat memberikan kekebalan terhadap SARS-CoV-2. Heri menyebu ini sebagai alternatif untuk vaksinasi.
 
"Puasa dan konsumsi diet ketogenik dapat menjadi prasyarat tubuh untuk mengurangi keparahan badai sitokin jika infeksi berikutnya terjadi," tegasnya.
 
Pewarta: Kendi Setiawan
Editor: Abdullah Alawi