Nasional

Beda Islam Moderat dalam Perspektif Barat dan Masyarakat Islam Menurut Akademisi Amerika

NU Online  ·  Senin, 26 Mei 2025 | 19:00 WIB

Beda Islam Moderat dalam Perspektif Barat dan Masyarakat Islam Menurut Akademisi Amerika

Prof James Hoesterey, Antropolog dan Peneliti Keislaman dari Emory University, Atlanta, Amerika Serikat saat berbicara pada kuliah umum berjudul "Critical Review of Moderate Islam in the Muslim World" yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Antropologi, Universitas Indonesia bekerja sama dengan Abdurrahman Wahid Centre for Peace and Humanity (AWCPHUI) di Auditorium Mochtar Riady, Kampus UI Depok, pada Jumat (23/5/2025). (Foto: NU Online/Afrilia Tristara)

Jakarta, NU Online


Wajah Islam moderat, dalam perspektif Barat, dibayangkan sebagai orang yang mungkin percaya kepada Tuhan tetapi mereka tidak shalat lima kali sehari atau mungkin orang yang tidak beribadah terlalu serius. Padahal dari perspektif orang Indonesia, hal itu lebih fokus ke toleransi atau upaya mencegah terorisme.


Kedua perbedaan ini memunculkan ketertarikan Prof James Hoesterey, Antropolog dan Peneliti Keislaman dari Emory University, Atlanta, Amerika Serikat, untuk meneliti lebih dalam mengenai bagaimana Islam Moderat ini sebenarnya diterima dari sudut pandang umat muslim sendiri, khususnya di Indonesia.


Pasca peristiwa teror 11 September 2001 di World Trade Centre (WTC), New York, Amerika Serikat, istilah Islam Moderat seolah bersumber dari paradigma keamanan anti-teror yang bersumber dari dunia Barat untuk menguji Islam. Sehingga, wacana tersebut memunculkan anggapan seolah tidak ada nilai-nilai moderat dalam Islam. 


"Saya ingin lebih memahami Islam Moderat dari perspektif muslim sendiri. Karena pada awalnya setelah peristiwa 9-11 itu, istilah Islam Moderat itu seolah-olah selalu berawal dari dunia Barat sebagai semacam tes atau ujian untuk negara Islam," ujarnya dalam kuliah umum berjudul "Critical Review of Moderate Islam in the Muslim World" yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Antropologi, Universitas Indonesia bekerja sama dengan Abdurrahman Wahid Centre for Peace and Humanity (AWCPHUI) di Auditorium Mochtar Riady, Kampus UI Depok, pada Jumat (23/5/2025).


Menurut Prof James, peristiwa 9/11 tersebut menimbulkan trauma tersendiri bagi masyarakat Amerika yang pada akhirnya menebar ketakutan berlebih yang kepada umat Islam tanpa pernah mencoba memahami secara holistik bagaimana sebenarnya nilai-nilai ajaran Islam.


Disadari maupun tidak, perspektif barat ini kemudian memunculkan diferensiasi umat Islam ke dalam dua golongan, Prof James menyebutnya Bad Muslim (muslim yang buruk) and Good Muslim (muslim yang baik) dalam fenomena ini. Good Muslim adalah mereka yang dianggap moderat menurut perspektif barat, sementara Bad Muslim adalah mereka yang radikal dan melakukan tindakan terorisme.


Pada kenyataannya, tidak semua negara atau komunitas Islam mau menerima istilah Islam Moderat. Osama bin Laden contohnya, sebagai pendiri jaringan Al Qaeda ia menganggap istilah Islam Moderat ini seolah mencitrakan Islam yang berkiblat ke Barat. 


Setelah melakukan berbagai penelitian tentang Islam Moderat, Prof James mencapai satu kesimpulan bahwa tidak ada definisi tunggal yang dapat menginterpretasikan wacana tersebut secara menyeluruh. 


Ia mencontoh di Indonesia tidak ada kesepakatan tertentu apakah Islam Moderat ini harus diterapkan atau terbatas pada perilaku toleransi kepada umat lain saja. Menurutnya, hal ini karena umat Islam telah menerapkan nilai-nilai moderasi yang memang terdapat dalam ajarannya.

 

Sebagai antropolog yang mendalami ragam ekspresi Islam global, Prof James juga mengkritisi narasi "Islam Moderat" yang kerap terjebak dalam kerangka politis. Menurutnya, istilah "moderat" sendiri adalah kategori politik, bukan sekadar sikap keagamaan. Oleh karena itu, gerakan Islam Moderat, termasuk gagasan harus melampaui narasi counter-terorism yang sarat kepentingan keamanan (security paradigm). 


Ia berpendapat bahwa Islam Moderat perlu menampilkan wajah Islam yang lebih utuh, tidak hanya sebagai alat pencegahan radikalisme tetapi juga sebagai sumber nilai kemanusiaan, seni, dan kebudayaan.
  

Belajar dari apa yang terjadi di Amerika, Prof James menekankan pentingnya pendekatan diplomasi berbasis komunitas—bukan program elitis yang dari atas ke bawah (top-down). Di tengah iklim politik era Trump, gerakan Islam berbasis hati dan dialog keseharian (daily diplomacy) dinilai lebih efektif menggambarkan Islam rahmatan lil 'alamin ketimbang program yang sarat muatan politik.