Jakarta, NU Online
Sekolah seharian penuh atau full day school yang diwacanakan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy menuai berbagai respon di masyarakat terutama dunia maya. Ada yang mengafirmasi, tetapi tidak sedikit juga yang menolak dengan beragam argumentasi.
Tak pelak wacana full day school menuai trending topic di media sosial twitter, Selasa (9/8) dengan tagar #FullDaySchool. Masyarakat dunia maya (netizen) mayoritas menolak wacana kebijakan tersebut karena dinilai tidak memanusiakan peserta didik yang juga memerlukan interaksi sosial yang lebih luas tidak hanya sekolah.
Selain itu, wacana kebijakan tersebut juga terkesan menegasikan peran orang tua dan masyarakat yang juga sebagai sumber pendidikan bagi anak. Karena tidak semua orang tua dan masyarakat di wilayah tertentu kondisinya sama sehingga hanya akan membatasi ruang gerak sosial anak yang juga memerlukan inspirasi dan tumbuh kembang di luar lingkungan sekolah.
Akun bernama Erlan Sutrisna (@Rrrlann) mengatakan, wacana kebijakan Mendikbud baru terlalu memaksakan diri karena anak juga butuh bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. “Seharian penuh di sekolah itu terlalu memaksakan. Anak-anak juga butuh kehidupan bersosial dgn lingkungan sekitar rumah #FullDaySchool,” tulis Erlan.
“...fungsi tetangga sbg alat kontrol sosial jg hilang krn tak lagi saling kenal akibat #FullDaySchool ...,” ungkap akun bernama Willy Elhajeer (@willyelhajeer).
Terkait wacana ini, akun bernama Emzy Ardiwinata (@emzyardiwinata) menegaskan kepada pemerintah agar melihat sistem pendidikan di Finlandia sebagai negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. “Bisa contoh Finlandia. Belajar cuma 5 jam, gak ada PR, tapi sukses punya sistem pendidikan (yang katanya) terbaik di dunia. #FullDaySchool,” cuitnya.
“#FullDaySchool di Finlandia mereka sekolah cuma 5 jam, tanpa PR, tp disana adalah pola pendidikan terbaik dunia, jadi ini urusan efektifitas,” tutur akun bernama Ikwan Edy Umar (@ikhwanlmaizumi) yang juga menjadikan Finlandia sebagai tolak ukur argumentasinya.
Banyak yang menolak, ada juga yang mengafirmasi. Hal ini datang dari akun @FaozanAmar. Dia mengatakan bahwa sekolah seharian penuh sudah sesuai dengan prinsip pendidikan yaitu long life education. “Ide #FullDaySchool bukan Hal baru ... Krn sesuai dgn prinsip long life education,” tulisnya.
Namun demikian, prinsip long life education menurut akun bernama Stark Galahad hanya dimaknai secara tekstual, yaitu penambahan waktu belajar. Padahal, kualitas belajar sangat penting di kedepankan. Artinya, meskipun anak didik katakan hanya belajar selama 25 menit, tetapi ia mampu memahami belajarnya itu sehingga menjadi pembelajaran sepanjang hayatnya. “Yang perlu ditingkatkan itu kualitas ilmu yang diajarkan, bukan kuantitas jam mengajar. #FullDaySchool,” tulis Stark Galahad (@spacehipcandy).
Ada ribuan argumentasi lain yang dilontarkan oleh para netizen sebagai ungkapan afirmasi dan penolakan atas wacana tersebut. Sebagian masyarakat juga menilai bahwa jika tujuan Mendikbud agar anak didik tidak liar di luar lingkungan sekolah, mestinya dia dapat bersinergi dengan lembaga pendidikan diniyah seperti Madrasah Diniyah, TPQ, TPA, dan lain-lain yang memang selama ini menjadi tempat menempa peserta didik untuk belajar agama usai pulang sekolah.
“Secara perlahan, anak didik akan terbangun karakternya dan tidak jadi liar di luar sekolah,” ujar Muhadjir Effendy, Ahad (7/8) di Malang, Jawa Timur.
Namun, dengan tetap intens bersosialisasi dengan orang tua, tetangga, dan anak-anak sebayanya di lingkungan sekitar, Netizen berpandangan bahwa anak-anak juga tidak akan tercerabut dari akar sosial masyarakatnya. Tentu prinsip pendidikan global ini bertolak belakang dengan sistem full day school dengan anak diharuskan belajar seharian penuh di sekolah. (Fathoni)