Nasional

Bagaimana Faktor Psikologi Memengaruhi Pasangan Memilih Childfree?

Kam, 23 Februari 2023 | 07:00 WIB

Bagaimana Faktor Psikologi Memengaruhi Pasangan Memilih Childfree?

Dilihat dari sisi psikologi pasangan yang memilih childfree mungkin karena berkaitan dengan nilai-nilai yang dianut dan masalah kesehatan mental. (Foto: Ilustrasi/Freepik)

Jakarta, NU Online

Childfree adalah sebuah istilah yang merujuk kepada kesepakatan pasangan untuk tidak memiliki anak setelah menikah. Di negara Barat, childfree sudah lama menjadi tren. Adapun di Indonesia pilihan ini dirasa aneh oleh banyak kalangan, karenanya menuai kontroversi.


Jika dilihat dari sisi psikologi, ada dua faktor yang membuat pasangan memilih childfree, yaitu berkaitan dengan nilai-nilai yang dianut dan masalah kesehatan mental.


"Ada banyak faktor yang akhirnya pasangan memilih untuk childfree. Kalau dilihat dari sisi psikologi ada dua, yang pertama itu dilihat dari nilai-nilai yang dianut," ujar Ketua Program Studi Psikologi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta, Irma Safitri dalam tayangan Swara NU: Childfre dalam Perspektif Psikologi diakses NU Online, Rabu (21/2/2023).

 

Irma menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan nilai-nilai yang dianut yaitu keyakinan atau anggapan pasangan. Misalnya, pasangan mengutamakan karir dalam hidupnya, anggapan bahwa kebahagiaan ada di dalam karir.


"Nah, dengan adanya idealisme itu mereka akan dampaknya ke childfree. Nggak usah deh punya anak, karena nanti akan menghambat kesuksesan, kebahagiaan," jelas Irma.


Pandangan semacam itu, lanjut dia, bisa muncul dari mana saja, misalnya dari pola asuh, bisa juga dari lingkungan sekitar. "Jadi mungkin pasangan yang memang sudah terbiasa tidak dengan keramaian, terus ide-ide dari luar gitu yang mungkin childfree itu enak loh, bisa bebas, bisa tidak terganggu," imbuhnya.


Kemudian faktor psikologi kedua yang membuat pasangan memilih untuk childfree adalah berkaitan dengan masalah kesehatan mental. "Kesehatan mental dalam artian seperti ini, ada individu yang menganggap ketika dia menjadi orang tua, menjadi ayah, menjadi ibu secara mental nggak siap," ungkapnya.


Menurutnya hal tersebut bisa dipengaruhi oleh trauma-trauma masa kecil. Misalnya ketika kecil mengalami trauma kekerasan yang membekas hingga dewasa, dan akhirnya saat dewasa memilih untuk tidak memiliki anak dikarenakan takut jika punya anak kejadiannya akan terulang.

 

"Kalau untuk di Indonesia sendiri, pasangan yang memilih untuk childfree lebih banyak alasan yang pertama. Tujuan hidupnya bukan untuk memiliki anak, versi bahagianya yang tidak memiliki anak. Ada juga yang karena kesehatan mental, ketika dia menjadi orang tua ditakutkan tidak bisa mendidik dengan baik karena masa kecilnya mengalami trauma," jelasnya.

 

Ia mengungkapkan bahwa kesehatan mental tersebut perlu diperhatikan sebab ketika orang tua memiliki masalah kesehatan mental juga akan berdampak kepada anak. "Kalau kasus seperti itu mungkin childfree baik dengan kondisi orang tuanya harus konseling, harus diperbaiki," ungkapnya.


Jagan lupakan dampak

Irma menilai childfree harus ditanggapi dengan bijak sebab dari sisi pro dan kontra sama-sama kuat. Namun, ia mengingatkan bahwa ide dan pilhan childfree akan berdampak ke depan.


"(Dampak) yang pertama kelahiran pasti akan turun. Terus apakah dengan childfree kebahagiaan itu akan naik. Itu juga perlu dipertanyakan," lanjut Irma​​​​​​​​​​​​​​.


Dia mengingatkan keputusan childfree harus dipikirkan dengan matang oleh pasangan. "Dan harus siap dengan konsekuensi sosialnya," pungkasnya.


Kontributor: Malik Ibnu Zaman
Editor: Kendi Setiawan