Nasional SERTIFIKASI HALAL (6)

Badan Sertifikasi Halal Perlu Miliki Standarisasi Bersama

NU Online  ·  Sabtu, 12 April 2014 | 07:15 WIB

Jakarta, NU Online
Nahdlatul Ulama mendirikan Badan Halal Nahdlatul Ulama (BHNU) sebagai upaya membantu para pengusaha NU mendapatkan sertifikasi halal. Hlaini bukan untuk menyaingi MUI yang sertifikasi halalnya sudah cukup mapan di Indonesia.
<>
Anggota Dewan Tahkik atau dewan pengawas BHNU KH Arwani Faishal menjelaskan, pemerintah perlu membuat regulasi yang bisa digunakan sebagai standar bersama yang mengakomodasi semuanya, namun sayangnya RUU Jaminan Produk Halal (JPH) yang ada saat ini tidak menggambarkan adanya pemisahan antara regulator dan operator lembaga sertifikasi halal. 

Kiai Arwani yang merupakan ahli fikih lintas mazhab ini menjelaskan, untuk babi dan bangkai, terdapat sudah terdapat kesepakatan bahwa kedua benda tersebut haram, tetapi terdapat perbedaan pandangan terhadap beberapa hal seperti kepiting, ada yang mengharamkan dan ada yang menghalalkan, semuanya memiliki dalil yang kuat.

Selanjutnya dikalangan Sunni, terdapat empat mazhab utama yang menjadi rujukan, yaitu Maliki, Syafii, Hanafi dan Hambali dan masing-masing mazhab memiliki perbedaan hukum atas suatu benda dianggap najis atau suci sehingga kesepakatan bersama ini sangat penting.

“Kalau semua ormas memiliki badan sertifikat halal, NU hanya untuk NU, sertifikat Muhammadiyah hanya untuk Muhammadiyah, ribet kalau sampai akhirnya perusahaan harus mendapat sertifikasi halal dari berbagai pihak,” jelasnya.

Ia menjelaskan terdapat dua aspek dalam sertifikasi halal, pertama sisi thoharoh, atau kesucian dari barang yang disertifikasi, kedua aspek mafsadah, atau atau kebahayaan dari barang tersebut, misalnya mengandung bahan kimi atau tidak. Persoalan terkait dengan bahaya ini sudah menjadi kewenangan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM). Idealnya, lembaga sertifikasi halal memverifikasi produk yang sudah ada izin POM-nya. Sayangnya, hal ini susah diterapkan untuk industri kecil karena mereka kesulitan untuk mendaftarkan produknya di LP POM sementara mereka butuh sertifikasi halal untuk peningkatan pasar.

Selanjutnya, dikatakannya, auditor halal tidak cukup hanya dilakukan oleh ahli kimia, tetapi juga harus didukung oleh para ahli fikih. Pengetahuan fikih yang sekedarnya saya tidak memadai untuk memutuskan, misalnya sampai tingkat berapa, sebuah zat bisa dianggap berbahaya dan diputuskan menjadi haram, sehingga tidak boleh asal-asalan. (mukafi niam)