Nasional

Babak Baru Terorisme

NU Online  ·  Rabu, 16 Mei 2018 | 09:30 WIB

Babak Baru Terorisme

Direktur Wahid Foundation Zannuba Yenny Wahid usai diskusi di Griya Gus Dur Jakarta

Jakarta, NU Online
Keterlibatan tiga keluarga dalam aksi teror di Jawa Timur oleh sejumlah pakar dianggap sebagai ‘babak baru’ atas fenomena keterlibatan dalam aksi terorisme di Indonesia. Fenomena ini lantas memancing analisa dari para pakar dan ahli di bidang terorisme.

Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid menyebut bahwa pada dasarnya keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme bukan barang baru. Sejak dulu perempuan telah menjadi bagian dari aksi terorisme sebagai unit pendukung seperti menjadi agen perekrut pengantin dan pengorganisir logistik.

“Kalau keterlibatannya (perempuan) sudah sejak lama. Perempuan memainkan peran rekruiter, ngajak jadi pengantin dan logistic organizer,” papar Yenny di Kantor Wahid Foundatin, Jakarta Pusat, Selasa (15/5).

Apalagi perempuan memiliki sifat patuh yang begitu tinggi terhadap apapun yang diyakini. Kepatuhan ini diekploitasi sedemikian rupa dan membuat perempuan tidak dapat keluar dari lingkaran ajakan melakukan aksi terorisme.

Bagi seorang peneliti dari Institute for Policy Analysis of Conflict, Navhat Nuraniyah keterlibatan perempuan dan anak di Surabaya memiliki makna lain. Bagi dia fenomena ini membuktikan bahwa kelompok teroris ini telah kehabisan stok laki-laki, yang biasa diperankan sebagai pelaku bom bunuh diri. Hal ini juga mengindikasikan melemahnya resource yang dimiliki oleh jaringan teroris ini.

“Posisi teroris (yang menggunakan perempuan) ini mulai melemah. Ya karena susah nyari laki-laki yang mau (ngebom),” ujar Navhat.

Walau demikin ia juga tidak menutup mata dari kemungkinan lain. Sebab bisa jadi, penggunaan teroris perempuan dan anak merupakan strategi baru yang sedang dimainkan. Misalnya untuk memanfaatkan anggapan bahwa perempuan termasuk kategori kelompok yang berisiko rendah (low risk) untuk membuat kerusuhan. Dengan cara itu perempuan dapat ‘disusupkan’ ke sebuh lokasi yang tidak dijangkau laki-laki.

Sebenarnya perempuan yang mau ‘maju’ menjadi pelaku bom pada zaman dulu bukan tidak ada. Fenomena itu telah ia ada sejak zaman teroris Jamaah Islamiyah (JI). “Dulu sudah ada (perempuan) yang mau (maju menjadi pelaku bom bunuh diri), tapi JI melarang itu,” ujarnya. Karenanya, pada masa sebelumnya perempuan di Indonesia tidak pernah menjadi pelaku langsung.

Pengebom perempuan baru berani beraksi pertama kali pada tahun 2016 saat Dian Yulia Novi hendak menyerang Istana Negara dengan bom panci. Aksi Novi ini oleh para pengamat dijadikan titik awal keterlibatan perempuan dalam melakukan aksi pengeboman secara langsung. Beruntung aksi tersebut berhasil digagalkan aparat pada waktu itu.

Di samping itu, keterlibatan perempuan juga bisa dijadikan alat ‘memotivasi’ teroris laki-laki dengan membanding-bandingkan keduanya. “Ini lho perempuan aja bisa, masa kamu yang laki-laki takut?” kata dia menyontohkan.

Teroris Perempuan, lebih Murah dan Mudah Disetir

Keterlibatan perempuan di Indonesia oleh Musdah Mulia disebut memiliki keterkaitan dengan keterlibatan kaum hawa di dunia global. Dalam pernyataannya ia menyebut bahwa kelompok ISIS telah menggunakan ‘jasa’ perempuan dan anak-anak sejak lima tahun lalu.

Terdapat sejumlah alasan yang dipaparkannya, pertama pelibatan kelompok ini dinilai lebih murah. Kemudian pendekatan terhadap perempuan lebih sederhana karena tingkat ketaatan perempuan terhadap satu keyakinan lebih mendalam dari pada laki-laki.

“Pertama karena murah lalu karena taat. Perempuan lebih taat. Ia paling takut terhadap agama, dia patuh sekali sama agama, suami dan orang tua,” ujar Musdah.

Keuntungan lain yang didapatkan dari perempuan adalah minimnya tingkat kecuriagaan, apalagi jika membawa anak. Padahal, kata dia, pada banyak pemboman yang dilakukan perempuan, perempuan selalu membawa anak-anak.

Ia berkesimpulan, tak jarang perempuan menjadi sasaran utama perekrutan agen teroris. Salah satu kelompok yang cukup rentan terhadap perekrutan ini adalah tenaga kerja wanita yang sedang bekerja di luar negeri. “Perempuan yang banyak kena itu buruh migran. Alasannya karena buruh migran ini biasanya mandiri, mapan, tidak mudah dicurigai dan mudah dipengaruhi melalui internet,” jelasnya.

MUI: Melibatkan Perempuan dan Anak dalam Perang Haram

Pengurus Majelis Ulama Indonesia, KH Moqsith Ghazalie membantah klaim narasi yang menyatakan bahwa keterlibatan perempuan dan anak dalam situasi perang merupakan anjuran Islam. Sebaliknya ia menyebut ajakan ini bertentangan dengan perilaku yang dipraktikkan Nabi Muhammad SAW dalam situasi perang.

“Apa yang dilakukan oleh para teroris ini dengan melibatkan anak dan perempuan adalah lemah dari argumentasi syariat. Alih-alaih sesuai dengan syariat Islam, justru tak sesuai dengan syariat islam,” jelasnya. (Ahmad Rozali)