Nasional

Aktivis Perempuan dan Anak Tegaskan RUU TPKS Tak Bisa Ditunda Lagi

Sel, 30 November 2021 | 20:45 WIB

Aktivis Perempuan dan Anak Tegaskan RUU TPKS Tak Bisa Ditunda Lagi

Aktivis perempuan dan anak, Dwi Rubiyanti Kholifah. (Foto: Gatra)

Jakarta, NU Online

Aktivis perempuan dan anak Dwi Rubiyanti Kholifah yang akrab disapa Ruby Kholifah menegaskan pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) tidak bisa ditunda lagi. Pasalnya, menurut dia RUU TPKS merupakan bagian dari upaya mengubah paradigma supaya masyarakat tidak lagi melakukan kekerasan seksual.


“Seharusnya langsung disahkan, karena percepatan pengesahan RUU ini menjadi bukti nyata upaya memberikan perlindungan bagi seluruh rakyat Indonesia dari segala bentuk kekerasan, terutama bagi kelompok rentan perempuan dan anak,” tegas Ruby kepada NU Online, Senin (30/11/2021).


Ia mengungkapkan, penundaan kembali pengesahan RUU TPKS di DPR RI menjadi kekecewaan bagi banyak pihak terutama korban kekerasan seksual. Terlebih sampai saat ini belum ada kepastian hukum bagi pencegahan dan perlindungan perempuan dari kekerasan seksual, apalagi pemulihan dan pemenuhan keadilan hak-hak korban. 


"Belum adanya payung hukum tersebut seharusnya membuat DPR sadar bahwa tidak ada alasan lagi menunda pengesahan RUU tersebut,” terang Sekretaris Jenderal Internasional Asian Muslim Action Network (AMAN) dan Country Representative Aman Indonesia itu.


Ruby menilai banyaknya alasan di balik rencana penundaan pembahasan beleid ini semakin menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam penanganan tindak kekerasan seksual yang kasusnya sudah seperti gunung es.


“Terus terang saya penasaran, mengapa para DPR RI menilai RUU ini tidak penting. Pengalaman apa yang membuat mereka menganggap ini tidak penting,” ungkapnya.


Menurutnya, langkah DPR mengesampingkan RUU TPKS mencederai rasa keadilan dan pemulihan korban kekerasan seksual. "Saya nggak ngerti kenapa RUU yang bertujuan memenuhi keadilan dan pemulihan untuk korban itu di-drop, dibandingkan (rancangan) undang-undang yang lain,” ungkap Ruby.


Ia mengingatkan pemerintah dan masyarakat sipil pernah meluncurkan komitmen untuk tidak bersikap toleran pada beragam bentuk kekerasan terhadap perempuan, tetapi belum sepenuhnya mencapai sasaran. 


“Draft-draft dari masyarakat sipil, pemerintah, dan Komnas Perempuan, semua sudah bertebaran di publik, dan juga sudah di-submit ke DPR RI. Forum-forum dengan masyarakat sipil, para ahli juga sudah digelar, harusnya kan bisa lebih membuka horizon (cakrawala) berpikir DPR RI,” ujar dia.


Seperti diketahui, RUU TPKS telah melalui jalan panjang. Sekitar empat tahun lamanya Komnas Perempuan membujuk DPR agar membuat payung hukum soal kekerasan seksual. Baru pada Mei 2016 Komnas Perempuan diminta untuk menyerahkan naskah akademik payung hukum tersebut.


Namun begitu, RUU TPKS sampai dengan saat ini tak juga menemukan kepastiannya. Di sisi lain, penolakan terhadap RUU tersebut juga masih kerap terjadi. 


Padahal Sudah sembilan tahun lamanya RUU ini mengambang di Baleg DPR. Selama itu pula kasus kekerasan seksual kian meningkat tanpa adanya payung hukum yang menjamin perlindungan korban hingga sampai ke pemulihan psikologisnya. 


Kontributor: Syifa Arrahmah

Editor: Fathoni Ahmad