Nasional

Akademisi Pertanyakan TNI di Urutsewu

NU Online  ·  Jumat, 4 April 2014 | 13:00 WIB

Yogyakarta, NU Online
Konflik tanah di pesisir Urutsewu, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, satu di  antara ratusan konflik agraria di Indonesia. Berdasarkan data lembaga HUMA, pada 2013 konflik berlangsung di 98 kota/kabupaten di 22 provinsi dengan luas area konflik mencapai 2.043.287 hektar.
<>
Di Urtusewu konflik berlapis. Di lapis pertama, TNI AD mengklaim sepihak tanah warga yang sebagian besar Nahdliyin dengan alasan untuk latihan militer. Di lapis kedua, pada 2008 Kodam IV Diponegoro menyetujui PT Niagatama Cemerlang untuk menggunakan tanah (yang disebut) milik TNI AD sebagai area penambangan pasir besi.

Laksmi Adriani Savitri, pengajar Pascasarjana Jurusan Antropologi UGM menyatakan, bahwa pada dasarnya hal ini menyalahi aturan. Laksmi, doktor antropologi agraria lulusan Jerman ini menyatakan bahwa “TNI sama sekali tidak punya kewenangan apapun untuk memberikan bentuk-bentuk izin atau hak atas tanah,” katanya melalui surat elektronik (3/4).

Dengan demikian, dalam konteks Urutsewu, persetujuan yang diberikan oleh Kodam IV Diponegoro telah menyahihkan klaim bahwa tanah tersebut adalah milik tentara.

Sebelumnya (1/4), ketika dihubung terpisah, Shohib Sifatar, staf pengajar Institut Pertanian Bogor, menyatakan, keterlibatan TNI dalam klaim atas tanah negara atau rakyat memiliki sejarah yang panjang di Indonesia.

Proses seperti ini, kata dia, berawal dari kebijakan nasionalisasi akhir 1957 sampai dengan awal 1958 yang dalam implementasi pada tahun-tahun berikutnya banyak dikendalikan TNI. Beberapa aset perusahaan asing yang dinasionalisasi kemudian dijadikan sebagai aset TNI, bahkan sebagian dijadikan aset perusahan swasta yang kepemilikannya didominasi anggota ataupun pensiunan TNI.

Model kedua menurut Shohib, yang sedang melanjutkan studi doktoral di Belanda ini, kedudukan para komandan militer pusat dan daerah sebagai Penguasa Darurat Militer dan Penguasa Darurat Sipil di pusat maupun daerah menyusul penetapan status negara dalam keadaan perang atau darurat pada 17 Desember 1957.

“Kedudukan ini telah memungkinkan para penguasa perang di pusat dan daerah untuk melahirkan beberapa kebijakan maupun keputusan administrasi yang berdampak pada peralihan status dan penguasaan tanah di beberapa tempat,” tambah Shohib.

Dalam konteks Urutsewu, Shohib melihat konflik tanah mencerminkan kontinuitas praktik bisnis militer yang dibungkus dengan dalih pertahanan. Menurut Shohib ada dua masalah dalam kasus ini. Pertama, tindakan praktik bisnis militer yang tidak boleh dilakukan TNI. Kedua, penentuan kawasan Urutsewu sebagai kawasan strategis dari segi pertahanan tidak boleh dilakukan secara sepihak oleh TNI.

“Dengan terjadinya tindak kekerasan oleh aparat TNI terhadap warga, maka “patut dipertanyakan bagaimana TNI yang mengklaim sebagai pelindung rakyat bisa berbuat demikian,” pungkas Shohib.

Dari kelompok ilmu kebumian, staf pengajar hidrogeologi (air tanah) Jurusan Teknik Geologi Universitas Diponegoro, Semarang, Thomas Triadi Putranto, meskipun menekankan persyaratan legal formal seperti dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), melihat bahwa ada beberapa dampak negatif penambangan pasir besi terhadap kondisi air tanah.

Doktor lulusan Universitas Aachen Jerman ini pada (28/3) menyatakan, pada dasarnya air tanah terdampak dalam dua level. Yang pertama dari segi kualitas air tanah.

Kegiatan penambangan bisa mengakibatkan penurunan kualitas air tanah seperti meningkatnya kadar besi, kadar asam, dan munculnya sumber pencemar dalam air tanah. Dari segi kuantitas air tanah, secara umum Thomas menyebutkan, penambangan dapat menyebabkan menurunnya kemampuan infiltrasi air tanah, penurunan muka air tanah akibat terpotongnya muka air tanah, serta peningkatan volume aliran permukaan sehingga mengakibatkan penurunan pengisian kembali batuan sarang air tanah. (Bosman Batubara/Abdullah Alawi)