Muhammad Syakir NF
Penulis
Jakarta, NU Online
Masyarakat Indonesia akan kembali menyaksikan fenomena langit yang menakjubkan, yakni Gerhana Matahari Cincin (Annular). Peristiwa ini akan terjadi pada Ahad (21/6) atau bertepatan dengan 29 Syawwal 1441 H.
“Sebagian besar masyarakat Indonesia berkesempatan menyaksikan Gerhana Matahari ini meski dalam wujud gerhana sebagian, karena hanya sebagian kecil paras Matahari yang tertutupi oleh Bulan,” kata KH Sirril Wafa, Ketua Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), pada Jumat (19/6).
Gerhana Matahari (al–kusuf asy–syams), jelasnya, terjadi saat bumi, bulan, dan matahari benar-benar sejajar dalam satu garis lurus ditinjau dari perspektif tiga dimensi, dengan Bulan berada di antara Bumi dan Matahari.
Dalam khazanah ilmu falak, Gerhana Matahari terjadi bersamaan dengan konjungsi Bulan-Matahari (ijtima’) dengan Bulan menempati salah satu di antara dua titik nodalnya. Titik nodal, terangnya, merupakan titik potong khayali di langit di mana orbit Bulan tepat memotong ekliptika (masir asy–syams), yakni bidang edar orbit Bumi dalam mengelilingi Matahari.
“Sebagai akibat kesejajaran tersebut maka pancaran sinar Matahari yang menuju ke Bumi akan terblokir sedikit oleh Bulan. Maka peristiwa Gerhana Matahari selalu terjadi di siang hari,” kata dosen Ilmu Falak UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Lebih lanjut, Kiai Sirril Wafa menjelaskan bahwa pemblokiran tersebut terjadi secara tidak merata di sekujur paras bumi yang sedang terpapar sinar matahari pada saat itu. Melainkan hanya di sektor–sektor tertentu saja yang bergantung pada geometri orbit Bulan kala kesejajaran tersebut terjadi. Hal tersebut mengingat ukuran bulan jauh lebih kecil dibanding bumi.
Dalam setiap tahun Hijriyyah terjadi 12 peristiwa ijtima’. Akan tetapi, tidak setiap ijtima’ menghasilkan Gerhana Matahari. Sebab, orbit bulan membentuk sudut 5 derajat 14 menit terhadap ekliptika sehingga bulan tidak selalu menempati salah satu di antara dua titik nodalnya manakala ijtima’ terjadi.
“Situasi dimana ijtima’ terjadi bersamaan dengan bulan menempati atau berdekatan dengan salah satu titik nodalnya hanya terjadi minimal 2 kali dan maksimal 4 kali dalam setiap tahun Hijriyyah,” jelasnya.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Muhammad Faizin
Terpopuler
1
Soal Tambang Nikel di Raja Ampat, Ketua PBNU: Eksploitasi SDA Hanya Memperkaya Segelintir Orang
2
Khutbah Jumat: Mempertahankan Spirit Kurban dan Haji Pasca-Idul Adha
3
Rais 'Aam dan Ketua Umum PBNU Akan Lantik JATMAN masa khidmah 2025-2030
4
Khutbah Jumat: Meningkatkan Kualitas Ibadah Harian di Tengah Kesibukan
5
Ketum PBNU Buka Suara soal Polemik Tambang di Raja Ampat, Singgung Keterlibatan Gus Fahrur
6
Khutbah Jumat: Menyatukan Hati, Membangun Kerukunan Keluarga Menuju Hidup Bahagia
Terkini
Lihat Semua