Nasional

3 Arahan Jokowi Tuntaskan soal Rempang

Rab, 27 September 2023 | 22:30 WIB

3 Arahan Jokowi Tuntaskan soal Rempang

Presiden Joko Widodo memberikan arahan soal penuntasan Rempang di antaranya tidak adanya penggusuran (Foto: Dok Sekretariat Presiden)

Jakarta, NU Online
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberi arahan kepada sejumlah menteri dalam rapat terbatas terkait persoalan lahan di Pulau Rempang. Rapat tersebut digelar di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Senin (25/9/2023). 


Hadir dalam rapat itu Wakil Presiden Ma'ruf Amin, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Mensesneg Pratikno, Seskab Pramono Anung, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, Menteri LHK Siti Nurbaya, Menteri ATR/Kepala BPN Hadi Tjahjanto, hingga Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.

 

Seusai rapat, Menteri Investasi Bahlil menjelaskan sejumlah arahan Jokowi terkait masalah Rempang. Berikut poin-poinnya:

 

1. Selesaikan secara kekeluargaan
Presiden Jokowi memerintahkan agar penyelesaian persoalan Rempang dilakukan secara kekeluargaan.


"Bapak Presiden dalam arahan rapat pertama adalah untuk penyelesaian masalah Rempang harus dilakukan secara baik secara betul-betul kekeluargaan. Dan tetap mengedepankan hak-hak dan kepentingan masyarakat di sekitar di mana lokasi itu diadakan," kata Bahlil di Jakarta.


2. Libatkan kementerian lain
Selain itu, Jokowi juga mengarahkan agar penyelesaian konflik ini melibatkan kementerian lainnya. Dalam rapat tersebut, Bahlil pun menjelaskan dari 17.000 hektar area Pulau Rempang, hanya bisa dikelola sekitar 7.000 hingga 8.000 hektar. Sedangkan sisanya merupakan hutan lindung.

 

"Dan kami fokus pada 2.300 hektare tahap awal untuk pembangunan industri yang sudah kami canangkan tersebut untuk membangun ekosistem pabrik kaca dan solar panel," tutur Bahlil.


3.Tak ada penggusuran
Bahlil juga menyampaikan hasil pertemuannya dengan tokoh masyarakat sekitar kepada Presiden. Menurutnya, solusi untuk konflik di Pulau Rempang tersebut adalah penggeseran tempat tinggal, bukan penggusuran.

 

"Kami telah melakukan solusi posisi Rempang itu bukan penggusuran, sekali lagi. Kedua bukan juga relokasi tapi adalah pergeseran. Kalau relokasi dari Pulau A ke Pulau B. Tadinya kita mau geser relokasi dari Rempang ke Galang. Tetapi sekarang hanya dari Rempang ke kampung yang masih ada di Rempang," jelas dia.


Tak jadi dikosongkan pada 28 September 
Dalam kesempatan itu, Menteri Bahlil membantah isu bahwa warga Pulau Rempang, Kepulauan Riau diberi tenggat hingga 28 September 2023 untuk mengosongkan rumah mereka.

 

"Tanggal 28 September bukanlah hari penggusuran untuk warga Rempang. Proses relokasi untuk proyek Rempang Eco City masih dalam proses sosialisasi. Jadi jangan salah persepsi," kata Bahlil.

 

Secara terpisah, Kepala BP Batam, Muhammad Rudy, mengatakan hal serupa. Tim pendataan BP Batam, imbuhnya, masih berfokus pada sosialisasi hak-hak masyarakat yang bakal direlokasi.

 

"Saya tegaskan, 28 September 2023 bukan batas akhir pendaftaran apalagi relokasi," kata Rudi.

 

Sebelumnya, BP Batam berencana melaksanakan relokasi terhadap empat kampung pada tanggal 28 September untuk tahap pertama pembangunan Rempang Eco City.

 

Pemerintah menyiapkan berbagai bentuk kompensasi untuk warga yang terdampak, termasuk hunian tetap berupa rumah tipe 45 senilai Rp120 juta dengan luas tanah maksimal 500 meter persegi berikut sertifikat hak miliknya.

 

Menteri Bahlil menjelaskan, dalam proses transisi, masyarakat juga akan mendapatkan uang tunggu sebesar Rp1,2 juta per orang dan uang kontrak rumah sebesar Rp1,2 juta per KK.

 

Dia mencontohkan, jika dalam satu KK tersebut ada empat orang, maka mereka akan mendapatkan uang tunggu sebesar Rp4,8 juta dan uang kontrak rumah Rp1,2 juta sehingga totalnya Rp6 juta.

 

Ketegangan antara warga Pulau Rempang dan aparat gabungan TNI dan Polri, terjadi beberapa kali karena rencana relokasi warga Pulau Rempang, Galang, dan Galang Baru.

 

Warga menolak kehadiran aparat yang akan melakukan pematokan dan pengukuran lahan di Pulau Rempang yang dinilai akan menggusur permukiman mereka. Mereka menolak relokasi 16 titik kampung tua yang dianggap telah ada sejak 1843 di Pulau Rempang, Batam.