Platform Media Sosial Tak Mau Genosida di Palestina Tersebar, Mereka Menyensornya

Media sosial enggan untuk menyebarkan kabar mengenai genosida yang terjadi di Palestina dengan menyensornya.

Selain media massa, media sosial adalah platform terkini yang bisa menyebarkan informasi tentang perang Palestina-Israel ke seluruh dunia. Melalui platform seperti Instagram dan TikTok, pengguna dapat dengan cepat mendapatkan berbagai sudut pandang berita dan membantu memperluas pemahaman tentang kompleksitas perang Palestina-Israel. Media sosial juga digunakan oleh para aktivis HAM dan jurnalis untuk mendokumentasikan bukti genosida Israel yang telah menewaskan sekitar 12.000 warga sipil Palestina.


Sayangnya, media sosial yang dianggap sebagai tempat kebebasan berbicara telah melanggar janjinya sendiri. Terjadi pertentangan mencolok antara prinsip kebebasan berbicara yang dipromosikan di media sosial dan perlakuan tidak adil terhadap konten terkait Palestina. The Guardian dan Tech Crunch menemukan bahwa konten pro-Palestina sering dihapus atau dibatasi oleh platform media sosial dengan alasan pelanggaran aturan. Sementara peraturannya sendiri ambigu dan tidak transparan. 


Diskriminasi berbalut moderasi

Sejak bergulirnya serangan membabi-buta Israel terhadap Gaza pada 7 Oktober 2023, sejumlah pengguna Instagram menuduh platform tersebut dengan sengaja melakukan sensor dan moderasi konten pro-Palestina. Moderasi media sosial adalah proses mengawasi, memfilter, dan mengelola konten yang diunggah pengguna untuk memastikan konten sesuai aturan dan kebijakan platform. 


Menurut penelusuran Kari Paul dari The Guardian, sejumlah jurnalis dan content creator yang cukup populer menjadi korban moderasi ini. Azmat Khan, reporter New York Times pemenang Pulitzer, mengalami pembatasan pada akun Instagram-nya setelah mengunggah konten tentang perang di Gaza. Wartawan Ahmed Shihab-Eldin kehilangan akun Instagram-nya yang memiliki lebih dari 100.000 pengikut tanpa keterangan jelas. 


Di Indonesia, konten tentang sejarah Hamas yang diunggah oleh kreator konten Instagram @iniami dihapus secara sepihak dengan alasan melanggar Panduan Komunitas. Selain itu, akun milik dai Salim A Fillah, @salimafillah, mengalami beberapa kali shadowban (pembatasan distribusi konten) karena banyak membahas kondisi Palestina. Akibatnya, postingan yang diunggah melalui akun ini tidak dapat dilihat oleh banyak pengguna. Selain shadowban, akun ini juga telah mengalami penghapusan konten sepihak sebanyak tiga kali.


Sementara itu, dalam pernyataan resminya, Meta Platforms mengakui telah menghapus 795.000 konten tentang Palestina dalam tiga hari pertama perang di Gaza. Namun, Meta menekankan bahwa moderasi konten dilakukan bukan semata-mata karena situasi yang sedang berlangsung di Palestina. Mereka telah menganalisis akun-akun di platformnya sejak 2021, membersihkan konten yang dianggap terafiliasi dengan Hamas, dan menghapus profil Palestina yang dibuat kembali setelah 2021. 


Dalam cuitannya di X (dahulu Twitter), juru bicara Meta, Andy Stone, menyalahkan bug pada sistem moderasi algoritma mereka. Menurutnya, bug inilah yang mengakibatkan berkurangnya jangkauan konten Instagram Story "secara merata di seluruh dunia" tanpa memandang subjek.
  

Faktanya, selama perang berlangsung di Gaza sebulan terakhir, terdapat lebih dari 4.800 tindakan moderasi yang dilakukan oleh platform media sosial. Sada Social, NGO yang rajin melacak narasi anti-Palestina di ranah digital, mencatat tindakan moderasi ini termasuk pembatasan, penangguhan, penghapusan konten, pengakhiran akun, dan penghapusan halaman. Selain itu, berdasarkan data Sada Social, platform Facebook dan Instagram yang berada di bawah Meta telah mengategorikan frasa "from the river to the sea" sebagai "ujaran kebencian" (hate speech). 


Catatan di atas menunjukkan bahwa Meta sebagai perusahaan media sosial telah memoderasi konten Palestina secara tidak proporsional dan berlebihan. Hal ini tidak dialami oleh konten-konten pro-Israel, sekalipun konten tersebut berisi kebencian dan penghinaan terhadap Palestina. 


Narasi Newsroom mengunggah kompilasi konten TikTok yang mengejek penderitaan warga Palestina. Investigasi digital Al Jazeera menemukan jejaring sayap kanan Israel di media sosial yang ditujukan untuk mempersekusi aktivis dan jurnalis pro-Palestina di area Tepi Barat Terjajah, Yerusalem. Jejaring ini menguntit jejak digital dan data pribadi para aktivis untuk membantu militer Israel menyerang rumah dan keluarganya. 


Eekad Facts, platform intelijen open source pertama di wilayah Arab, baru saja menemukan channel Telegram rahasia Israel yang menyebarkan konten kekerasan dan sadisme. Channel tersebut menyebarkan hasutan untuk melakukan kekerasan terhadap anak-anak dan perempuan tak bersalah serta memublikasikan video bukti tindakan mengerikan seperti mutilasi jenazah.


Observatorium Palestina untuk Pelanggaran Hak Digital Palestina (7or) bahkan mendokumentasikan 532 kasus konten pro-Israel yang membahayakan warga Palestina, termasuk hasutan kekerasan, di tiga platform Meta. Namun, tidak satu pun dari konten tersebut diberi tindakan. Meta hanya mengakui kegagalan mereka mengklasifikasi ujaran kebencian berbahasa Ibrani karena kurangnya data. 

 


Perlunya transparansi

Penerapan pedoman komunitas di platform media sosial secara jelas menunjukkan standar ganda. Terdapat perlakuan berbeda terhadap konten pro-Palestina dibandingkan dengan konten yang mendukung Israel. Platform media sosial cenderung membatasi atau menghapus konten pro-Palestina karena dianggap melanggar pedoman komunitas, sementara konten pro-Israel sering kali dibiarkan beredar tanpa hambatan yang signifikan. Karenanya, transparansi dan keadilan dalam penanganan isu Palestina di ranah media sosial menjadi kebutuhan mendesak. 


Transparansi yang diperlukan berbentuk reformasi kebijakan moderasi konten. Ini mencakup kejelasan tentang kriteria yang digunakan dalam proses moderasi serta keterbukaan dalam menyikapi dan menanggapi keluhan terkait ketidakadilan yang terjadi. Perlakuan yang adil perlu ditekankan tidak hanya dalam memberikan ruang setara bagi berbagai sudut pandang dalam diskusi, namun juga tindakan yang merata terhadap segala bentuk pelanggaran. Untuk mewujudkan keadilan ini, perlu pengembangan panduan komunitas yang lebih jelas dan terperinci, terutama penjelasan tegas tentang kriteria yang digunakan dalam mengenali dan menangani konten yang melanggar. 


Selain itu, penting untuk memastikan adanya mekanisme yang efektif untuk menanggapi keluhan dan banding terkait keputusan moderasi, sehingga keadilan dapat ditegakkan secara lebih efektif. Sejauh ini, proses banding dilakukan di balik pintu yang tertutup rapat dan memakan waktu sehingga banyak pengguna tidak memilih opsi ini. 


Fahmy Aviani, pemilik akun @iniami, menggunakan kode dalam tutur dan tulisannya di konten Instagram agar dukungannya terhadap Palestina tidak terlacak oleh algoritma. Ia juga menyelipkan konten bertopik lain di antara konten bertema Palestina untuk mengacaukan pola unggahan yang kemungkinan telah dikenali algoritma Instagram. Sementara akun da’i Salim A Fillah akhirnya berhasil menembus shadowban berkat interaksi dan aktivitas bagi-ulang yang dilakukan oleh para pengguna yang masih bisa melihat unggahan dari akun ini.


Tanpa transformasi dan transparansi dalam penerapan pedoman komunitas, platform media sosial bisa menghadapi konsekuensi serius. Ketidakadilan penerapan peraturan dapat menimbulkan keraguan besar terkait netralitas platform-platform media sosial yang seharusnya memberi ruang bagi pluralitas opini. Pembatasan ini secara langsung mencederai hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang seimbang dan dapat diandalkan tentang perang Palestina-Israel. 


Moderasi yang diskriminatif juga dapat memicu polarisasi dan ketegangan lebih besar dalam masyarakat. Pada akhirnya, hal ini akan menghalangi dialog konstruktif untuk meredakan konflik dan memperumit upaya mencapai perdamaian yang berkelanjutan.


Pratiwi Utami, menyelesaikan S3 di Monash University dalam bidang Film, Komunikasi, dan Jurnalistik.


Pratiwi Utami
Kolomnis

logo