Kupas Tuntas Childfree dalam Islam: Hukum Asal, Motif, hingga Rambu-Rambu di Dalamnya

Hukum asal childfree adalah tidak makruh apalagi haram dalam Islam. Hanya saja, ada motif childfree, cara, dan rambu-rambu yang perlu diperhatikan.

Tren childfree yaitu kesepakatan suami-istri untuk tidak memiliki keturunan pasca pernikahan terus mendapat perhatian publik. Ada yang setuju dan ada yang tidak. Yang setuju mendasarkan pada alasan childfree sebagai hak setiap pasangan untuk memilih dengan beragam argumentasi. Mereka yang tidak setuju pun memiliki alasan dan argumentasinya sendiri.

 

Tulisan ini berusaha mengkaji childfree secara komprehensif dari empat sisi. Pertama, dari sisi hukum asal. Kedua, dari sisi motif. Ketiga, dari sisi teknis. Keempat, dari sisi cara kampanye childfree secara luas. Semuanya akan diulas dalam perspektif hukum Islam.

 

1. Hukum Asal Childfree

Dalam kajian fiqih, childfree secara riil dapat digambarkan adanya kesepakatan menolak kelahiran atau wujudnya anak, baik sebelum anak potensial wujud ataupun setelahnya. Dari sini hukum asal childfree diketahui dengan menelusuri hukum menolak wujudnya anak sebelum berpotensi wujud, yaitu sebelum sperma berada di rahim wanita. Apakah haram, makruh, atau boleh? 

 

Untuk mengurai jawaban fiqih atas hukum asal childfree perlu ditemukan kasus yang identik dengannya melalui metode ilhaqul masail binadhairiha, menyamakan hukum suatu kasus baru dengan hukum kasus lain yang sudah jelas hukumnya dalam ijtihad para ulama.

 

Childfree mempunyai padanan dengan kasus mereka yang menolak wujudnya anak sebelum sperma berada di rahim wanita. Sebab, childfree adalah keputusan pasangan untuk tidak memiliki anak sejak awal, baik disepakati sebelum ataupun sesudah menikah.

 

Dalam kajian fiqih klasik, setidaknya ada empat cara seseorang menolak wujudnya anak sebelum sperma berada di rahim perempuan:

 
  1. tidak menikah sama sekali;
  2. menahan diri tidak bersetubuh setelah pernikahan;
  3. tidak inzâl atau tidak menumpahkan sperma di dalam rahim setelah memasukkan penis ke vagina; atau
  4. dengan cara ‘azl atau menumpahkan sperma di luar vagina.


Di luar empat cara ini tentu masih banyak cara lain, terlebih seiring perkembangan teknologi yang kian maju yang dapat digunakan untuk menolak wujudnya.

 

Namun berbagai cara, yang paling praktis dan biaya terjangkau adalah dengan cara terakhir, yaitu ‘azl atau menumpahkan sperma di luar vagina. Imam Al-Ghazali berpendapat, hukum ‘azl adalah boleh, tidak sampai makruh apalagi haram, sama dengan tiga kasus pertama yang sama-sama sekadar tarkul afdhal atau sekadar meninggalkan keutamaan. Imam Al-Ghazali menjelaskan:

 

وَإِنَّمَا قُلْنَا لَا كَرَاهَةَ بِمَعْنَى التَّحْرِيمِ وَالتَّنْزِيهِ، لِأَنَّ إِثْبَاتَ النَّهْيِ إِنَّمَا يُمْكِنُ بِنَصٍّ أَوْ قِيَاسٍ عَلَى مَنْصُوصٍ، وَلَا نَصَّ وَلَا أَصْلَ يُقَاسُ عَلَيْهِ. بَلْ هَهُنَا أَصْلٌ يُقَاسُ عَلَيْهِ، وَهُوَ تَرْكُ النِّكَاحِ أَصْلًا أَوْ تَرْكُ الْجِمَاعِ بَعْدَ النِّكَاحِ أَوْ تَرْكُ الْإِنْزَالِ بَعْدَ الْإِيلَاجِ، فَكُلُّ ذَلِكَ تَرْكٌ لِلْأَفْضَلِ وَلَيْسَ بِارْتِكَابِ نَهْيٍ. وَلَا فَرْقَ إِذِ الْوَلَدُ يَتَكَوَّنُ بِوُقُوعِ النُّطْفَةِ فِي الرَّحْمِ

 

Artinnya, “Saya berpendapat bahwa ‘azl hukumnya tidak makruh dengan makna makruh tahrîm atau makrûh tanzîh, sebab untuk menetapkan larangan terhadap sesuatu hanya dapat dilakukan dengan dasar nash atau qiyâs (analogi) pada nash, padahal tidak ada nash maupun asal atau sumber qiyâs yang dapat dijadikan dalil memakruhkan ‘azl. Justru yang ada adalah asal qiyâs yang membolehkannya, yaitu tidak menikah sama sekali, tidak bersetubuh setelah pernikahan, atau tidak inzâl atau menumpahkan sperma setelah memasukkan penis ke vagina. Sebab semuanya hanya merupakan tindakan meninggalkan keutamaan, bukan tindakan melakukan larangan. Semuanya tidak ada bedanya karena anak baru akan berpotensi wujud dengan bertempatnya sperma di rahim perempuan. (Abu Hamid Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn, [Beirut, Dârul Ma’rifah], juz II, h. 51).

 

Nah, bila childfree yang dimaksud adalah menolak wujudnya anak sebelum potensial wujud, yaitu sebelum sperma berada di rahim wanita maka hukum asalnya adalah boleh.

 

Memahami Hadits Anjuran Pernikahan dan Berketurunan

Tidak dipungkiri dalam Islam ada hadits-hadits Nabi saw yang menganjurkan pernikahan dan mempunyai keturunan. Di antaranya adalah dua hadits berikut:

 

إِنَّ الرَّجُلَ لَيُجَامِعُ أَهْلَهُ فَيُكْتَبُ لَهُ بِجِمَاعِهِ أَجْرُ وَلَدٍ ذَكَرٍ قَاتَلَ فِي سَبِيلِ اللهِ فَقُتِلَ. قال العراقي: لم أجد له أصلا، ولكن قال الزبيدي: بل له أصل من حديث أبي ذر أخرجه ابن حبان في صحيحه

 

Artinya, “Sungguh seorang lelaki niscaya menyetubuhi istrinya kemudian sebab persetubuhan itu dicatat untuknya pahala anak laki-laki yang berjihad fi sabilillah yang kemudian mati syahid.” (Al-‘Iraqi berkata: 'Aku tidak menemukan asalnya', namun Murtadha Az-Zabidi berkata: 'Ada asalnya, yaitu dari hadits riwayat Abu Dzar ra yang di-takhrij oleh Ibnu Hibban dalam kitab Shahih-nya'). (Muhammad bin Muhammad Al-Husaini Az-Zabidi, Ithâfus Sâdatil Muttaqîn bi Syarhi Ihyâ-i’ ‘Ulûmiddîn, [Beirut, Muassasatut Târîhil ‘Arabi, 1414 H/1994 M], juz V, halaman 379-380).

 

مَنْ تَرَكَ النِّكَاحِ مَخَافَةَ الْعِيَالِ فَلَيْسَ مِنَّا، ثَلَاثًا. رواه أبو منصور الديلمي في مسند الفردوس من حديث أبي سعيد بسند ضعيف

 

Artinya, “Siapa saja yang tidak menikah karena khawatir kesulitan mengurus anak istri maka tidak termasuk dariku. Nabi saw mengatakannya tiga kali.” (HR Abu Manshur ad-Dailami dalam Musnadul Firdaus dari hadits Abu Sa’id dengan sanad dha’îf). (Abul Fadhl Al-‘Iraqi, Al-Mughni ‘an Hamlil Asfâr, [Riyadh, Maktabah Thabariyyah: 1415 H/1995 M], juz I, h. 369 dan 403).

 

Berkaitan hadits pertama Imam Al-Ghazali menjawab, Nabi saw berkata demikian karena andaikan lelaki tersebut mendapatkan anak seperti itu (berjihad), maka ia mendapatkan pahala tasabbub atau telah menjadi sebab wujudnya anak tersebut. Sebab, yang menciptakan, menghidupkan, dan menguatkan anak itu untuk berjihad adalah Allah. Sementara lelaki itu hanya sebagai sebab wujudnya anak tersebut dengan menyetubuhi istrinya, yaitu ketika ia membiarkan spermanya masuk ke dalam rahim istri. Menurut Al-Ghazali, hadits ini hanya bersifat anjuran, dan bila ada orang memilih tidak melakukannya atau memilih tidak punya anak maka boleh atau sekadar tarkul afdhal (meninggalkan keutamaan). (Al-Ghazali, II/51).

 

Demikian pula terkait hadits kedua, Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa hukum ‘azl atau menumpahkan sperma di luar vagina adalah boleh, seperti hukum memilih tidak menikah sama sekali. Maksud redaksi “Maka tidak termasuk dariku” dalam sabda Nabi itu adalah tidak sesuai dengan sunnah dan jejak langkahnya, yaitu melakukan pilihan amal yang lebih utama. (Al-Ghazali, II/52).

 

Pendapat Al-Ghazali yang menyatakan membolehkan menolak punya anak sebelum potensial wujud atau sebelum sperma masuk ke dalam rahim perempuan ini didukung oleh Muhammad Al-Husaini Az-Zabidi. Secara tegas Az-Zabidi menyatakan:

 

إِذْ لَا يَجِبُ عَلَيْهِ النِّكَاحُ إِلَّا عِنْدَ وُجُودِ شُرُوطِهِ. فَإِذَا تَزَوَّجَ لَا يَجِبُ عَلَيْهِ إِلَّا الْمَبِيتُ وَالنَّفَقَةُ. فَإِذَا جَامَعَ لَا يَجِبُ عَلَيهِ أَنْ يُنْزِلَ. فَتَرْكُ كُلِّ ذَلِكَ إِنَّمَا هُوَ تَرْكٌ لِلْفَضِيلَةِ

 

Artinya, “Karena sebenarnya seorang lelaki tidak wajib menikah kecuali saat terpenuhi syarat-syaratnya. Sebab itu, bila menikah maka ia tidak wajib melakukan apa pun kecuali menginap di suatu tempat bersama istri dan menafkahinya. Bila ia menyetubuhinya, maka tidak wajib baginya untuk inzâl atau memasukkan sperma ke rahim istri. Karena itu, meninggalkan semua hal tersebut hanyalah meninggalkan keutamaan, tidak sampai makruh apalagi haram.” (Az-Zabidi, V/380).

 

Walhasil, dengan merujuk pendapat Imam Al-Ghazali, demikian pula pendapat Az-Zabidi, yang membolehkan penolakan wujud anak sebelum potensial wujud, yaitu sebelum sperma berada di rahim perempuan, maka dapat disimpulkan bahwa hukum asal childfree adalah boleh.

 

Namun demikian, kebolehan ini dapat berubah sesuai berbagai faktor yang mempengaruhinya, baik dari sisi motif maupun teknisnya.

 

2. Motif Childfree yang Boleh dan yang Haram

Beragam motif melatarbelakangi suami-istri memilih childfree dalam pernikahannya. Di antaranya karena alasan finansial atau khawatir akan menjadi repot hidupnya bila punya anak, khawatir akan menyengsarakan anak di masa depannya, khawatir masalah kesehatan atau kelainan genetik, alasan aktivitas seksual dapat berkurang; alasan masih banyak anak-anak terlantar atau kurang beruntung yang dapat diadopsi, dirawat atau disantuni; overpopulation atau semakin meledaknya penduduk bumi, dan selainnya. Lalu bagaimana hukumnya menurut kajian fiqih Islam?

 

Merujuk pembacaan terhadap ijtihad Imam Al-Ghazali yang berkesimpulan hukum asal childfree adalah boleh atau sekadar tarkul afdhal (meninggalkan keutamaan), bila dilihat dari motifnya, hukum childfree akan berbeda-beda. Bila motifnya baik dan dapat diterima secara fiqih Islam maka boleh, bila tidak maka tidak boleh.

 

Al-Ghazali sendiri sadar akan kemungkinan adanya protes atas pendapatnya ini. Jika itu terjadi, Al-Ghazali sudah menyediakan jawabannya, “Bila ada yang protes, ‘Bila ‘azl atau menumpahkan sperma di luar vagina istri saat bersetubuh hukumnya tidak makruh dari sisi menolak wujudnya anak, maka bisa saja makruh karena niat atau motif buruk yang menyebabkan orang memilih menolak anak. Sebab penolakan terhadap wujudnya anak tidak akan muncul kecuali dari niat yang rusak atau (buruk menurut agama) yang mengandung unsur-unsur syirik khafi (syirik yang samar).”

 

Menjawab protes seperti itu, Al-Ghazali secara detail menjelaskan, niat atau motif orang menolak wujudnya anak ada empat, dan tidak semua motif itu berakibat pada hukum haram.

 

Pertama, motif finansial seperti dalam konteks masih berlaku perbudakan manusia tempo dahulu, sehingga seorang lelaki membiarkan budak perempuannya hanya disetubuhinya dengan cara ‘azl sehingga tidak punya anak, agar dengan kondisi seperti ini lelaki pemiliknya tetap dapat menjadikan budak perempuan itu sebagai hartanya. Motif finansial seperti ini hukumnya boleh dan tidak terlarang. 

 

Motif finansial lainnya adalah khawatir anak akan merepotkan hidupnya, mengharuskannya bekerja lebih keras, dan terjerumus dalam pekerjaan-pekerjaan haram. Motif seperti ini juga tidak dilarang. Sebab semakin orang tidak repot, semakin mudah pula ia menjalankan agama.

 

Di masa sekarang motif finansial yang mendorong suami-istri untuk memilih childfree sangat beragam, seperti lebih memilih fokus pada karier, bisnis, dan aktivitas ekonomi lainnya daripada punya anak yang juga memerlukan fokus, yang hukumnya diperbolehkan.

 

Kedua, motif seksual dan keselamatan hidup, yaitu untuk menjaga kecantikan istri dan kualitas tubuh agar tetap menarik secara seksual, serta menjaganya agar tetap hidup karena khawatir mati bila melahirkan anak. Motif seperti ini, masih menurut Al-Ghazali, juga tidak dilarang.

 

Ketiga, motif keyakinan yang keliru, yaitu orang memilih tidak punya anak karena khawatir anak yang dilahirkan adalah anak perempuan, sementara ia berkeyakinan bahwa mempunyai anak perempuan merupakan aib sebagaimana keyakinan orang Arab jahiliyah tempo dulu yang sampai dalam tahap membunuhnya. Inilah motif yang rusak dan tidak dibolehkan agama.

 

Andaikan karena keyakinan seperti ini kemudian orang memilih tidak menikah atau tidak bersetubuh dengan istrinya setelah pernikahan, maka ia berdosa. Dosanya bukan karena tidak menikah, tidak bersetubuh dengan istrinya setelah pernikahan, atau karena memilih ‘azl yaitu menumpahkan sperma di luar vagina saat bersetubuh, akan tetapi berdosa karena keyakinannya yang salah atas sunnah Nabi saw (memiliki anak). Dosanya seperti dosa perempuan yang enggan menikah karena sombong dan merasa superior dibanding laki-laki; atau dosa lelaki yang menolak menikah atas alasan yang merendahkan perempuan.

 

Keempat, motif perempuan menolak wujudnya anak karena kelewat ketat menjaga kebersihan diri, tidak mau melahirkan, tidak mau nifas dan tidak mau menyusui bayi, seperti tradisi perempuan-perempuan sekte Khawarij yang selalu berlebihan dalam menggunakan air untuk membersihkan diri. Bahkan mereka sampai mengqadha shalat yang ditinggalkannya saat haid dan tidak masuk ke kamar mandi kecuali secara telanjang. Motif seperti ini juga merupakan motif yang buruk dan rusak menurut agama. Namun demikian, berkaitan motif seperti ini, yang rusak adalah motifnya, bukan sikapnya menolak wujudnya anak. Demikian terang Al-Ghazali dalam Ihyâ’. (Abu Hamid Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn, [Beirut, Dârul Ma’rifah], juz II, h. 52).

 

Dari detail penjelasan di atas, hukum childfree dilihat dari sisi motifnya cukup beragam. Setidaknya secara detail ada delapan motif childfree yang diperbolehkan, yaitu:

  1. motif finansial atau khawatir akan menjadi repot hidupnya dari sisi ekonomi,
  2. memprioritaskan karier,
  3. khawatir akan menyengsarakan masa depan anak-anak di masa depan,
  4. khawatir masalah kesehatan atau kelainan genetik,
  5. alasan aktivitas seksual dapat berkurang,
  6. alasan sosial masih banyaknya anak-anak terlantar atau kurang beruntung yang dapat diadopsi, dirawat atau disantuni daripada punya anak lagi,
  7. overpopulation atau semakin meledaknya penduduk bumi berbanding terbalik dengan kondisinya yang semakin rusak, dan semisalnya
  8. motif orang merasa lebih dapat berkontribusi positif dalam kehidupan bila tidak punya anak daripada punya anak, dan semisalnya.


Sebab motif-motif seperti itu dapat diterima secara fiqih Islam. Lain halnya bila motif childfree karena keyakinan-keyakinan yang keliru tentang wujudnya anak, maka hukumnya haram, seperti:

  1. memandang rendah anak perempuan,
  2. antinatalisme yaitu keyakinan bahwa melahirkan manusia-manusia baru ke dunia merupakan sikap tak bermoral yang dilakukan turun-temurun,
  3. mengikuti keyakinan sesat yang menolak memiliki anak, dan semisalnya.


Ketiga motif di ataslah yang membuat childfree menjadi haram. Haram karena motifnya yang keliru, bukan haram karena menolak memiliki anak.

 

3. Hukum Memutus Fungsi Reproduksi melalui Childfree

Kesepakatan suami-istri untuk tidak punya anak dari pernikahannya dilakukan dengan berbagai cara. Ada cara yang dilarang dan ada yang tidak.

 

Merujuk pada Keputusan Muktamar NU Ke-28 di PP Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta pada 26-29 Rabiul Akhir 1410 H/25-28 November 1989 M, hukum mematikan fungsi berketurunan secara mutlak (total) adalah haram. Secara lengkap Muktamar merumuskan:

 

“Penjarangan kelahiran melalui cara apa pun tidak dapat diperkenankan kalau mencapai batas mematikan fungsi berketurunan secara mutlak. Karenanya sterilisasi yang diperkenankan hanyalah yang bersifat dapat dipulihkan kembali kemampuan berketurunan dan tidak sampai merusak atau menghilangkan bagian tubuh yang berfungsi.” (Tim LTN PBNU, Ahkamul Fuqaha: Solusi Problematika Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama, [Surabaya, Khalista, 2019], h. 448).

 

Meski sebenarnya bahasan Muktamar adalah hukum vasektomi (pemotongan vas deferens atau pipa yang menyalurkan sperma dari testis menuju uretra sehingga seorang pria tidak dapat menghamili wanita) dan tubektomi (penutupan kedua tuba falopi yang terdapat di dalam tubuh wanita sehingga sperma yang masuk ke dalam vagina tidak dapat “bertemu” dengan sel telur, apalagi membuahinya), tetapi secara jelas rumusan ini melarang orang mematikan fungsi berketurunan atau reproduksi manusia secara mutlak. Karena itu, putusan ini dapat digunakan pula untuk merumuskan hukum childfree. Yaitu, bila pilihan childfree dilakukan dengan cara mematikan fungsi reproduksi secara mutlak maka jelas-jelas tidak diperbolehkan. Bila childfree dilakukan dengan menunda atau mengurangi kehamilan maka hukumnya makruh.

 

Muktamar mengambil argumen bahwa penggunaan obat-obatan penunda kehamilan secara fiqih hukumnya diperinci. Bila obat itu membuat orang tidak dapat punya anak sama sekali maka haram, dan bila hanya menunda atau memperjarang kehamilan maka makruh. Dalam hal ini forum muktamar mengutip pendapat Syekh Ibrahim Al-Bajuri yang menjelaskan:

 

وَكَذلِكَ اسْتِعْمَالُ الْمَرْأَةِ الشَّيْءَ الَّذِي يُبْطِىءُ الْحَبْلَ أَوْ يَقْطَعُهُ مِنْ أَصْلِهِ فَيُكْرَهُ فِي الْأُولَى وَيُحْرَمُ فِي الثَّانِي

 

Artinya, “Demikian pula seperti hukum lelaki menghilangkan syahwat seksual dengan cara mengonsumsi kafur thayyar, yang makruh bila hanya berdampak mengurangi syahwat dan haram bila berdampak menghilangkannya secara total; hukum wanita menggunakan atau mengonsumsi sesuatu yang memperlambat kehamilan atau membuatnya tidak bisa hamil secara total, maka hukumnya makruh untuk yang pertama dan haram untuk yang kedua. (Ibrahim Al-Bajuri, Hâsyiyyatul Bâjuri ‘alâ Ibni Qasim Al-Ghazi, [Semarang, Thoha Putera], juz II, h. 92).

 

Karenanya dilihat dari cara suami-istri merealisasikan pilihan childfree terdapat dua hukum. Makruh bila sekadar menunda kehamilan; dan haram bila dengan mematikan fungsi reproduksinya secara total.

 

4. Hukum Mengampanyekan Childfree sebagai Ideologi

Bila hukum asal childfree adalah boleh dan baru dapat dihukumi haram karena motif dan teknis tertentu saja yang keliru, lalu bagaimana hukum menjadikannya sebagai prinsip hidup seperti ideologi dan mengampayekannya kepada khalayak luas?

 

Berkaitan hal ini, pemikiran Sayyid Muhammad Muhammad bin Alawi al-Maliki pada kasus yang kasus pembatasan keturunan atau tahdîdun nasl dapat dijadikan referensi.

 

Dalam kasus pembatasan keturunan atau pembatasan anak, Sayyid Muhammad memilah antara pembatasan keturunan karena kondisi personal pasangan suami-istri, dan pembatasan keturunan karena dijadikan sebagai prinsip hidup semacam ideologi yang dikampanyekan agar orang lain untuk mengikutinya. 

 

Pertama, pembatasan keturunan dalam konteks personal pasangan suami-istri atau dharûrah syakhsiyyah karena alasan-alasan tertentu, Sayyid Muhammad tidak mempermasalahkannya, karena hal itu merupakan pilihan hidup yang diserahkan kepada masing-masing pasangan suami-istri. Mereka lebih tahu kondisi rumah tangga sebenarnya.

 

Apakah pasangan tersebut ingin menunda punya anak dahulu di awal-awal pernikahannya karena alasan tertentu; apakah mereka merencanakan punya anak dua, satu, atau bahkan memilih tidak punya anak sama sekali; semuanya tidak masalah, selama berangkat dari motif atau dan dengan cara yang dapat diterima fiqih Islam. 

 

Pada masa Nabi Muhammad saw ada pula sahabat yang berkeinginan tidak punya anak dan diizinkan olehnya, sebagaimana disebutkan dalam riwayat hadits:

 

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ لِي جَارِيَةً وَأَنَا أَعْزِلُ عَنْهَا، وَأَنَا أَكْرَهُ أَنْ تَحْمِلَ، وَأَنَا أُرِيدُ مَا يُرِيدُ الرِّجَالُ، وَإِنَّ الْيَهُودَ تَحَدَّثَ: أَنَّ الْعَزْلَ الْمَوْؤُدَةُ الصُّغْرَى. قَالَ: كَذَبَتْ يَهُودُ. لَوْ أَرَادَ اللهُ أَنْ يَخْلُقَهُ مَا اسْتَطَعْتَ أَنْ تَصْرِفَهُ. رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ وَاللَّفْظُ لَهُ وَالنَّسَائِيُّ وَالطَّحَاوِيُّ. وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ

 

Artinya, “Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri ra, sungguh seorang lelaki pernah berkata: ‘Wahai Rasulullah, sungguh aku punya budak perempuan, dan aku ‘azl atau menumpahkan sperma di luar vaginanya ketika bersetubuh. Aku tidak senang ia hamil dariku, aku punya kehendak sebagaimana kehendak para lelaki, sementara sungguh seorang Yahudi berkata: ‘Sungguh ‘azl merupakan pembunuhan bayi dalam skala kecil’.’ Rasulullah saw lalu bersabda: ‘Orang Yahudi itu bohong. Andaikan Allah menghendaki menciptakan anak, maka kamu tidak dapat menolaknya’.” (HR Ahmad, Abu Dawud dan ini redaksi miliknya, an-Nasa’i, dan at-Thahawi. Para perawinya adalah perawi-perawi tsiqqat). (Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulûghul Marâm min Adillatil Ahkâm, [Kediri, Dârul Ibâd, 1439 H/2018 M], h. 205).

 

Kedua, pembatasan keturunan dalam konteks menjadikannya sebagai mabda’ atau prinsip hidup semacam ideologi, atau menganggapnya sebagai akhlak terpuji). Di sinilah Sayyid Muhammad sangat menolaknya. Beliau berkata:

 

وَالَّذِي نَرَى وَنَتَدَيَّنُ بِهِ اللهَ تَعَالَى أَنَّ فِكْرَةَ تَحْدِيدِ النَّسْلِ كَمَبْدَإٍ، فِكْرَةٌ إِلْحَادِيَّةٌ خَبِيثَةٌ وَمَكِيدَةٌ صَهْيُونِيَّةٌ ظَاهِرَةٌ سَافِرَةٌ، اِغْتَرَّ بِهَا بَعْضُ الْمَفْتُونِينَ مِنَ الْمَحْسُوبِينَ عَلَى الدِّينِ. فَنَفَخُوا فِيهَا وَرَاحُوا يَدْعُونَ إِلَيْهَا بِدَعْوَ الْغَيْرَةِ عَلَى الاقْتِصَادِ الْعَرَبِيِّ وَالْإِسْلَامِيِّ وَحِمَايَةِ الْمُجْتَمَعِ مِنَ الْفَقْرِ وَالْجَهْلِ وَالْمَرَضِ الَّذِي زَادَ بِزِيَادَةِ الْأَفْرَادِ

 

Artinya, “Prinsip yang saya anut dan saya gunakan sebagai sikap beragama kepada Allah Ta’ala adalah sungguh pemikiran pembatasan keturunan sebagai prinsip hidup merupakan pemikiran ateisme yang keji, tipu daya zionis yang sangat nyata dan mencolok. Pemikiran itu meracuni sebagian orang-orang yang terkena fitnah dari kalangan tokoh-tokoh beragama. Lalu mereka mengampanyekan pemikiran tersebut dan semangat mengajak orang untuk mengikutinya dengan dalih prihatin terhadap kondisi ekonomi bangsa Arab dan umat Islam, serta dengan dalih melindungi masyarakat dari kemiskinan, kebodohan, dan penyakit yang semakin bermunculan seiring bertambahnya populasi manusia.” (Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani, Adabul Islâm fî Nizhâmil Usrah, [Surabaya, Haiatush Shafwah al-Mâlikiyyah], h. 160).

 

Sayyid Muhammad menegaskan bahwa sebagian orang yang terpengaruh pemikiran seperti itu pada hakikatnya sedang mengalami kebodohan dan kelemahan. Sebab bila alasannya adalah keprihatinan terhadap kondisi kemiskinan, kebodohan, dan masalah kesehatan masyarakat, semestinya yang wajib mereka lakukan adalah mengoptimalkan semangat dan pemikiran mereka untuk menanggulanginya. Lalu menggunakan kemahiran menulis untuk membahas cara penanggulangannya, yang di antaranya dengan mengajak masyarakat untuk kembali pada ilmu pengetahuan dengan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, membuka seluas-luasnya kesempatan riset atau penelitian, dan mendorong orang-orang muda untuk aktif dalam berbagai bidang ini.

 

Selain itu juga mendorong orang kaya dan konglomerat untuk menggunakan hartanya demi kepentingan publik; mengampanyekan kesadaran atas urgensi kesehatan secara sempurna dan menyeluruh, di mana hal tersebut dapat menjaga kesehatan masyarakat, membuat mereka peduli terhadap berbagai sarana-sarana medis, memenuhi berbagai sebab dan upaya kesehatan, baik yang bersifat preventif pencegahan, maupun yang bersifat represif pengobatan. (Al-Hasani, Adabul Islâm: 160).

 

Pemikiran Sayyid Muhammad tentang pembatasan keturunan atau tahdîdun nasl, yaitu tidak boleh dalam konteks menjadikannya sebagai prinsip hidup; dan boleh bila dalam konteks personal, hemat penulis dapat diterapkan dalam kasus childfree. Sama-sama menolak wujudnya anak.

 

Bila pendapat fiqih ini dapat diterima, maka dapat dirumuskan, sebagaimana pembatasan keturunan dalam konteks menjadi prinsip hidup semacam ideologi (mabda’) dan dikampanyekan hukumnya dilarang, demikian pula childfree. Karenanya, tidak boleh menjadikan childfree sebagai prinsip hidup atau ideologi, mengampayekan dan mempromosikannya agar diikuti orang lain. 

 

Lain halnya childfree dalam konteks pertimbangan personal, semisal karena kekhawatiran beban finansial yang dapat menjerumuskan orang pada pekerjaan-pekerjaan haram, alasan genetik dan semisalnya, maka tidak masalah, sebagaimana tahdîdun nasl dalam konteks personal juga tidak menjadi problem.

 

Berkaitan hal ini Sayyid Muhammad menegaskan:

 

اَلْمُهِمُّ أَنْ لَا يَكُونَ ذَلِكَ مَبْدَأً أَوْ فِكْرَةً يَدْعُو إِلَيْهَا أَحَدٌ أَوْ يُحَسِّنُهَا لِلنَّاسِ

 

Artinya, “Yang terpenting pembatasan keturunan itu tidak menjadi prinsip hidup, atau tidak menjadi pemikiran yang dikampanyekan untuk diikuti, atau dipromosikan kepada orang banyak.” (Al-Hasani, Adabul Islâm: 161).

 

Ustadz Ahmad Muntaha AM, Redaktur Keislaman NU Online dan Founder Aswaja Muda


logo